Oleh: Muhammad Ridwan Alimuddin, Pemerhati Sejarah Mandar
Perbatasan antara Majane dengan Polman sudah didokumentasikan pihak Belanda di tahun 30-an. Ada foto yang memperlihatkan pemandangan khas kawasan ini, berupa pandangan ke arah perbukitan di Balanipa. Waktu itu sedang banjir. Jejeran pohon di kanan kiri jalan trans Sulawesi yang masih bisa disaksikan hingga tahun 80-an tergambar di foto tersebut.
Memang kawasan antara Lutang dengan kota Majene adalah kawasan banjir, lokasinya rendah. Mungkin karena sering atau pernah ada aliran air di situ, kawasan ini diberi nama Lembang. Istilah “lembang” adalah salah satu istilah untuk menyebut aliran air atau sungai dalam Bahasa Mandar, selain “salu” dan “binanga”.
Perkampung di Lembang, yang berada di dataran sedikit lebih tinggi dan memanjang. Bila belok kiri atau Selatan, akan melewati Barane, Baurung dan Tamo. Tempat-tempat tersebut dituliskan di dalam beberapa peta tua tentang kawasan Majene. Jalan ke arah tempat itu juga akan tembus ke kota Majene, tapi lebih jauh sekitar 6,5 km. Kalau melewati Lembang, hanya 2 km. Hanya saja, kalau melintasi Lembang, nyaris tak ada situs bersejerah di situ yang bisa disaksikan. Beda kalau mengarah ke Barane.
Mengarah ke Barane akan melintasi areal pertambakan yang tidak terlalu produktif. Salah satu sebabnya, aliran air tawar yang dulunya mengarah ke situ tak ada lagi. Menurut beberapa informasi, kawasan tambak ini dulunya dikelola oleh pihak Kerajaan Banggae. Para pejabat Kerajaan Banggae, khususnya Maraqdia Banggae dan para Paqbicara-nya mendapat bagian jika ada hasil dari tambak (biasanya di situ dipelihara ikan bandeng dan udang).
Sama halnya dengan alat tangkap ikan “bandrong” (semacam bagang) di Barane – Baurung, dulu adalah milik para pejabat Kerajaan Banggae. Mereka mendapat juga hasil dari situ. Dewasa ini masih bisa disaksikan “bandrong” milik nelayan setempat berdiri di tubir karang di kawasan tersebut, di laut yang berada di arah timur.
Di antara perkampung Lembang (barat) dan perkampungan Baurung, ada tambak. Di barat tambak ada bukit-bukit kecil yang menjadi kawasan penghasil batu bata merah di Majene. Kegiatan pembuatan batu bata masih bisa disaksikan dewasa ini. Sepertinya, bangunan-bangunan permanen yang dibuat di Majene batu batanya berasal dari sini. Bisa jadi batu bata yang digunakan membangun bangungan-bangunan permanen oleh Belanda (dan mungkin juga pertama di Majene, sebab kecil kemungkinan orang Majene menggunakan batu bata karena rumah orang Mandar seratus persen berbahan kayu dan merupakan rumah panggung) berasal dari areal bukit-bukit di Lembang (sekarang masuk wilayah Kecamatan Banggae Timur).
Selain batu bata, kampung-kampung dari Baurung, Barane dan Tamo juga adalah penghasil serbuk kapur yang dulu digunakan sebagai pelapis bagian luar lambung perahu, yang juga bisa dijadikan sebagai pelapis dinding rumah. Batu kapur dibuat dari batu karang yang dibakar lalu ditumbuk. Dalam bahasa Mandar kapur disebut “pallili”.
Melewati Baurung, Barane dan Tamo yang merupakan salah satu perkampungan nelayan terbesar di Teluk Majene, menuju arah Kota Majene akan dilewat beberapa tempat wisata alam. Yaitu Pantai Datoq dan Pantai Munuq, yang keduanya berada di tebing karang.
Satu kilometer kemudian akan dilewati Pekuburan Cina, yang berada persis di atas tebing, di sisi kiri jalan, tak jauh dari Stasiun BMKG. Kawasan ini disebut Leppe, kampung sebelumnya adalah Pangale. Keberadaan pemakaman Cina di suatu tempat adalah penanda bahwa kawasan tersebut adalah daerah yang sejak dulu ada pergerakan ekonomi, sebagaimana yang terjadi di Majene.
Tidak sampai 500 meter dari Pekuburan Cina terdapat Hotel Villa Bogor Leppe. Sepertinya hotel ini yang terbaik yang ada di Kota Majene, milik mantan Sekretaris Kabupaten Majene, Rizal Sirajuddin. Dari kompleks hotel ini, yang berada di atas tebing, dapat disaksikan pemandangan Teluk Majene. Ada foto Belanda yang didokumentasikan di tahun 30-an, sudut pengambilan gambarnya dari Leppe, di antara Pekuburan Cina dan Hotel Villa Bogor Leppe.
Suasana pantai Teluk Majene masih dipenuhi pohon-pohon kelapa. Di laut beberapa perahu berlabuh. Tampak jelas tebing karang, Bukit Ondongan. Di kaki bukit Buttu Ondongang belum ada perkampung. Beda dengan sekarang, saat ini padat dengan rumah-rumah penduduk.
Dari Hotel Villa Bogor Leppe, sekira 400 meter ke arah ke depan dengan kondisi jalan menurun adalah Kota Majene. Yang pertama kita dapati, di sisi Jalan Trans Sulawesi adalah Kantor Pajak dan Polres Majene. Di sekitarnya ada beberapa café dan warung makan. Tapi sebelum terus ke barat, ke kawasan inti Kota Majene, kita ke arah utara dulu. Melewati jalan di sisi Polres Majene. Sekitar tiga ratus meter akan tampak semacam rawa yang oleh penduduk setempat disebut Tundaq. Di situ juga terdapat hutan pohon sagu. Dari batangnya didapat serbuk sagu, daunnya dibuat atap.
Tundaq adalah jejak bahwa dulunya di kawasan ini banyak genangan air atau rawa. Dalam catatan Belanda memang disebutkan bahwa ada kawasan di sebelah timur Majene ada genangan air yang kegiatan pembuatan jalan (saat ini Jalan Trans Sulawesi) membuatnya terpisah dari pengaruh pasang surut air laut. Efeknya, tempat itu menjadi sarang nyamuk penyebab penyakit malaria. Tapi karena terletak jauh dari pemukiman penduduk, dampak banyaknya nyamuk tidak sampai ke kawasan pemukiman. Beda dengan genangan yang ada di sisi barat, di sekitar Camba. Demikian catatan Belanda menceritakan tentang dua genangan (rawa) di sekitar kota Majene.
Beberapa meter dari rawa Tundaq ada gereja. Menurut informasi dari penduduk di Cilallang, dulunya gereja tidak berada di situ. Tapi berada di samping taman kanak-kanak atau di seberang Stadion Majene. Berjarak beberapa puluh meter dari letak gereja sekarang. Informasi tersebut sesuai dengan kondisi foto klasik gereja. Yang mana di latar foto tak nampak perbukitan Majene. Itu karena posisi gereja dulunya memang beda, yang latarnya adalah laut lepas (Teluk Majene).
Di keterangan foto ada catatan “catholic” padahal gereja sekarang dikelola oleh aliran Protestan. Kemungkinan disebabkan awal-awal kedatangan Belanda kepemimpinan dipengaruhi oleh Katholik, lalu belakangan oleh Protestan. Dalam sejarah penyebaran agama Kristen di Nusantara oleh kolonial Belanda memang ada masa antara pengaruh Katholik dan Protestan.
Bentuk bangunan di foto dengan dengan bentuk gereja yang ada sekarang cukup berbeda. Dulu tidak ada simbol ayam di puncak, sekarang ada. Belum lagi bentuk lainnya. Yang jelas di Kota Majene hanya ada satu gereja. Di dokumentasi Belanda tersebut juga didokumentasikan saat banjir. Memang kawasan ini juga langganan banjir sebab berada di dataran rendah, letaknya hanya sekian meter dari rawa Tundaq. Kenapa gereja dibangun di situ? Karena di Majene dulunya adalah mayoritas muslim, maka ada kemungkinan pihak bangsawan Majene (Kerajaan Banggae) hanya mengijinkan pembangunan gereja jauh dari pemukiman penduduk setempat.
Dari Gereja Protestan, menyusuri Jl. K. H. Muhammad Saleh (nama ulama Mandar kelahiran Pambusuang, pengedar Tarekat Qadiriyah di Mandar, pernah menjadi kadhi di Majene) ke arah barat melintas beberapa persimpangan jalan yang nama jalannya adalah nama pahlawan nasional yang berasal di Sulawesi yaitu A. P. Pettarani, Dr. Ratulangi, Wolter Mongisidi dan Lanto Dg Pasewang, sejauh 700 meter akan didapati Lembaga Pemasyarakatan Kelas II Majene. Di depan rutan ini adalah sungai kecil, Sungai Majene. Sekarang lebih tampak seperti kanal.
Di seberang sungai ada penjara. Belum diketahui apakah penjara dirintis oleh Belanda atau oleh pemerintah republik. Belum ditemukan catatan kapan rumah tahanan ini dibangung. Dua peta Belanda yang terbit 1935 dan 1943 belum menuliskan adanya “Gevangenis” (penjara) di Majene. Beda dengan Tinambung, di peta 1935 ada tertulis demikian, yakni di lokasi Puskesmas Tinambung saat ini.
Jadi ada kemungkinan rumah tahanan di Majene dibangun di antara 1943 dengan 1947 bila berdasar pada peristiwa Galung Lombok. Tapi itu tidak berarti tidak ada tempat menahan orang atau penjara di Majene, sebab ada catatan yang terbit 1926 yang menyebut ada penjara di Majene. Kemungkinan besar yang dimaksud adalah penjara di tangsi militer Belanda, di markas Yonis 721 saat ini.
Sewaktu peristiwa pembunuhan massal di Galung Lombok yang terjadi di 1 Februari 1947, beberapa korban awalnya ditahan di rumah tahanan tersebut. Mereka digiring ke arah Galung Lombok melewati beberapa perkampungan. Dari perkampungan Baruga, Simullu, Tadolo dan Tande beberapa warganya ikut digiring bersama tahanan dari rumah tahanan Majene. Di sana mereka “disiram” dengan senapan mesin. “Penembakan secara massal dimulai atas diri para tawanan dari tangsi dan dari penjara Majene termasuk 29 orang dari Kelasykaran Angkatan Laut Republik Indonesia …” tulis Syaiful Sinrang dalam buku Mengenal Mandar Sekilas Lintas I.
Ketfot: Replika bangunan Belanda yang terletak di halaman Mesjid Ilaikal Masir. Foto Muhammad Ridwan Alimuddin
Bersambung.