Tentang Hikayat Negeri Ring of Fire

14 Januari malam setelah gempa siang itu, penulis berkomunikasi dengan Ihsan Zainuddin Direktur Nusantara Palestina Center (NPC). Rupanya ia telah memantau kondisi awal pasca gempa 5 koma sekian. Sekitar jam 21.25, Ihsan via pengantar pesan WhatsApp mengatakan, apa yang dapat dibantu NPC.
“Kira-kira bantuan apa yang bisa kita berikan ini kak…”
“Apakah kebutuhan air minum, ataukah keperluan lain yang mendesak…”
“Apakah di sana ada dapur umum?”
Tiga pertanyaan awal itu penulis tanggapi seraya membalas bahwa mesti melihat kondisi di lapangan lebih dahulu, termasuk menghimpun masukan warga di Facebook.
Usai salat Subuh Jumat, 15 Januari penulis yang mengirim kabar ke Ihsan.
“Masya Allah gempa dini hari tadi…” kalimat itu persis pukul 06.10.

Sejak hari itu, komunikasi mengenai distribusi bantuan ke titik gempa bagi di Malunda-Tapalang atau di Kota Mamuju seperti gelombang di media sosial. Penulis melihat gerakan sosial dan kerelawanan berbagai komunitas seperti buih yang menyatu dalam bentuk posko bantuan. Di posko yang berdiri di kantor untuk menampung staf dan keluarga kondisi terlihat cukup terkendali. Sebenarnya posko ini bersifat internal untuk mewadahi pegawai dan keluarganya, namun hari-hari berikutnya halaman kantor yang telah dipancangi tenda darurat juga menerima siapapun yang ingin mampir. Posko pun berubah sebagai penyaluran bantuan korban. KPU Kabupaten se-Sulbar mengirim logistik, termasuk KPU Sulsel, KPU Sulteng dan kiriman donasi dari berbagai KPU Provinsi, juga bantuan dari KPU RI di Jakarta.

***

Hari kedua gempa atau Sabtu 16 Januari, penulis menuju Malunda yang menjadi episentrum bencana alam. Rute ini amat familiar sebab sejak akhir tahun 2004 saat Mamuju menjadi ibu kota provinsi penulis telah mondar-mandir setiap akhir pekan ke Polewali-Mamuju atau sebaliknya. Sepanjang tahun 2005 hingga 2013 penulis juga mengampu mata kuliah untuk Kampus II Universitas Al-Asyariah Mandar (Unasman) di Malunda.

Tetapi kondisinya sangat berbeda. Kawasan yang mulai tumbuh sebagai jalur ramai trans Sulawesi seperti wilayah yang mati. Warganya telah pergi ke tempat yang lebih tinggi. Maklum saja kabar mengenai potensi tsunami terus berseliweran di media sosial atau rumpun komunitas tak dapat dibendung. Orang-orang memilih pergi. Kita tak dapat menyalahkan siapapun dalam kondisi demikian. Saat malam hari ketika penulis kembali ke Mamuju, jalanan amat sepi. Tetapi rumah-tumah yang ditinggalkan itu sebagian besar tetap benderang.