Kepada Takdir Warli, penulis meminta agar Sahril segera dibawa ke layanan kesehatan terdekat. Namun Sahril mengatakan, Rumah Sakit Mitra Manakarra yang berlantai tinggi itu pun amblas. Dini hari itu seolah langsung berjalan lambat meski bermacam-macam kabar kematian warga makin ramai. Sejak subuh Jumat itu kami menginap di halaman kantor memakai alas seadanya. Anak-anak silih-berganti bertanya.
Saat matahari mulai menyembul di pegunungan, tingkat kepanikan memuncak seiring pagi yang terang. Gempa 6,2 itu menyisakan akibat luar biasa. Dalam skala kecil, bersama Sekretaris KPU Provinsi Sulawesi Barat, Dr. H. Bachtiar kami langsung membangun posko darurat. Sama dengan penulis, ia juga membawa keluarganya berdiam di sini. Belasan staf ikut mengungsi dan membopong barang apa saja yang dapat ke posko. Termasuk balita yang baru berusia beberapa pekan.
Saat siang tiba, penulis berusaha berkeliling di beberapa titik dalam kota. Tanah rekah, gedung ambruk, jembatan menuas beton besi, bahan bakar perlahan hilang, reruntuhan rumah atau bangunan tinggi menumpuk, orang-orang mondar-mandir entah datang dari mana atau ke mana. Kami kadang saling mengangguk. Bencana seperti itu hadir di kota kami. Jumlah yang meninggal dunia seperti detak jam yang terus bertambah. Penulis kembali ke posko masygul. Tidak tahu ingin mengatakan apa.
Selanjutnya malam berganti dalam kegelapan tak biasa. Arus listrik ke posko yang berada di halaman kantor tidak tersambung selama dua hari dua malam. Sepanjang hari itu penulis belum melihat ada tindakan darurat dari pihak PLN. Entah bila di titik lainnya. Kerusakan bangunan yang meluas, serta pohon tumbang di sana-sini memang menyulitkan petugas untuk dapat menyambung instalasi secara penuh. Apalagi evakuasi korban yang masih merintih di bawah bangunan runtuh masih terdengar sayup. Orang-orang sungguh tak membayangkan kehancuran kota Mamuju setelah diremukkan gempa. Ini seperti pemandangan di film-film berlatar peperangan.
Di posko, saya dan rekan komisioner KPU Provinsi lainnya; bersama Dr. Bachtiar saling memotivasi agar semua staf tetap dalam jangkauan update informasi kegempaan. Beruntung sebab sekretaris kantor kami terus memonitor keberadaan dan kondisi setiap pegawai yang tidak mengungsi tetapi tersebar di beberapa posko gempa.
Di hari ketiga pasca gempa, misalnya terjadi kegaduhan warga kota karena merebaknya kabar akan datangnya tsunami. Sebagian besar staf bahkan telah kembali mengemasi untuk mengungsi ke tempat lebih tinggi. Media sosial yang kencang dengan verifikasi informasi minim menebarkan trauma penyintas. Penulis mencoba menahan mereka usai sarapan sambil memberi argumen penting, mereka mau mengungsi ke mana lagi? Tetapi kepanikan itu penulis sadari sebab silang kabar yang terus merubung penyintas.
Penulis juga aktif memantau media sosial, menyimak atau mengabarkan situasi terdekat yang dapat dijangkau di dalam kota. Mencoba menghimpun laporan atau aduan warga mengenai kabar terkini di lingkungan mereka.
“Banyak rumah rubuh…” ketik penulis sekitar jam 21.24.