Sisa Kota Tua Majene

COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Het_dorp_Madjene_ligt_aan_een_baai_TMnr_60033419
COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Het_dorp_Madjene_ligt_aan_een_baai_TMnr_60033419

Belanda juga banyak mencatat kisah perjalanan di Majene. Salah satunya catatan yang menyebutkan nama Majene dalam Buku The Heritage Of Arung Palakka oleh Leonard Y Andaya (VVKI, 1980) menyebutkan nama Majene (Hal. 144 – 158). Hal 144: Belanda mengirim ekspedisi militer (belanda & Bugis) secara besar-besaran kemudian membakar dan menghancurkan ngeri Ballannipa (Balanipa), Majene, Bukko (Bukku), Campalagiang, Binuang. Namun Penduduk telah melarikan diri ke pegunungan. Dia kembali dari Mandar Nov, 1671. Hal. 158: Tanggal 10 September 1674 ke Makassar untuk bersumpah setia kepada Belanda dari negeri Sendana Balanipa dan Majene (Darmawan Mas’ud Rahman, 2008)..

***

Selanjutnya, Pak Budi mengajak penulis ke kamar untuk menemaninya menyelesaikan laporan kegiatannya selama berada di Mandar. Ia masih membutuhkan sejumlah informasi terkait Mandar, khususnya Balanipa dan Sendana. Berdiskusi dengan Pak Budi selalu menarik, sebab beliau adalah peneliti senior dan ahli arekeologi. Hal yang berkesan bersama Pak Budi adalah, ia tidak pelit memberikan sejumlah informasi dan data yang ia miliki. Dari beliaulah, penulis mendapatkan bimbingan terkait dunia arkeologi.

Setelah berdiskusi dengan Pak Budi, penulis kemudian menghampiri Ian dan Ifa di lobi belakang hotel. Kedua anak mahasiswa arkeologi UNHAS ini memiliki sejumlah data dan dokumentasi penting selama di lokasi. Penulis meminta data temuan dan dokumentasi tentang makam tua di wilayah Balanipa dan Sendana. Dokumentasi ini penting dalam penulisan buku, sebab foto yang dihasilkan sudah dilengkapi dengan skala dan orientasi situs.

Penulis mendapat tugas dari Pak Amir untuk mempublikasikan kegiatan ini ke media. Kepada Pak Amir, penulis sampaikan bahwa mulai besok, 19 Oktober 2022, reportase penulis selama di lapangan akan dimuat berseri pada media online mandarnesia.com. Tulisan ini sudah edisi ke-24 dari sejumlah informasi yang penulis suguhkan untuk pembaca situs mandarnesia.com. Pada saat tulisan ini diselesaikan, sudah enam edisi yang tayang.

Tak terasa, waktu menunjukkan pukul 11. 30. Bu Hapni sudah terhubung dan menyampaikan informasi bahwa menu makan siang sudah siap saji. Penulis menyampaikan bahwa saat ini, mobil rombongan Pak Amir dkk belum selesai dicuci. Akhirnya, mobil Pak Supriadi menjadi alternatif akhir untuk memboyong Pak Amir dkk ke rumah kediaman Pak Supriadi dan Bu Hapni. Menu makan siang kali ini dilengkapi dengan Sokkol lameaju, loka dan lameaju sattai dengan lauk mulai dari cumi, tui-tuing, ikan batu panggang, sampai penja tu’mis dan sambal khusus yang disebut lawar. Pak Budi tentu menjadi orang nomor satu yang menikmati sajian ini, sebab dari awal kedatangannya di Mandar, sokkol lameaju adalah menu yang kerap ia cari.

Sokkol lameaju adalah salah satu makanan tradisional yang terbuat dari ketela pohon, ubi kayu atau singkong (Manihot utilissima). Umbi perdu tahunan tropika dan sub tropika dari suku Euphorbiaceae ini dikenal luas sebagai bahan makanan pokok penghasil karbohidrat dan daunnya untuk sayuran.

Pembuatannya juga masih sangat tradisional dengan cara ubi diparut lalu diperas sampai kadar airnya sedikit. Parutan ubinya kemudian direbus/dikukus setelah sebelumnya dicampur dengan parutan kelapa (porittiang) dan kacang hijau atau bue. Diantara menu yang ada juga terdapat loka atau pisang pake santan kelapa yang direbus bersama ubi kayu yang tak diparut. Kedua menu ini menjadi sajian yang juga menarik minat rombongan peneliti untuk menikmatinya.

Satu lagi yang menarik diantara lauk yang disediakan oleh Bu Hapni adalah penja tu’misnya. Penja atau atau ikan nike adalah ikan kecil yang munculnya sekali dalam sebulan, hanya disaat “bulan mati” saja. Ini istilah yang sering kita (orang Mandar) dengar dari para nelayan “mua’ melo’ bomi mate bulang mendai’ bomi tu’u penja” artinya kalau bulan sudah akan mati maka penja akan muncul lagi. Karena munculnya hanya disaat tertentu, maka tak heran kalau para nelayan biasa mengeringkan-nya apabila tidak habis terjual dalam keadaan basah.

Hal ini tidak serta merta menghilangkan nilai jual penja dipasaran tapi justru dengan cara dikeringkan/diasinkan maka para konsumen bisa menikmati penja kapan saja.

Penja atau Peja bisa dinikmati dengan banyak cara seperti di pepes, di tumis, di lawar dan lain sebagainya. Hari ini Bu Hapni menyajikan ikan penja tu’mis yang membuat lidah para peneliti hari ini sangat dimanjakan. Mereka terlihat sangat menikmati menu makan siang yang di Mandar saja, susah ditemukan, sebab menu sepeti ini hanya tersedia di warung-warung tertentu di Mandar. Menu ini bisa dinikmati di Kota Majene tepatnya di Saleppa.

Selain itu, bisa ditemukan di salah satu rumah makan di Campalagian. Termasuk juga disejumlah rumah makan di Mamuju, yaklni di Karema dan Pasar Baru Mauju. Tempat-tempat ini penulis rekomendasikan sebab disanalah penulis kerapkali menikmati sajian seperti ini. Mungkin saja masih ada warung-warung yang menyediakan menu ini, tapi penulis belum sempat/pernah kesana.