Mengungkap Pusat Peradaban Balanipa – Sendana | Penguatan Identitas, Kebhinnekaan dan Kemaritiman Mandar | Bagian 17
Reportase Muhammad Munir
“Nun jauh diatas sana, terdapat areal areal persawahan yang berada di puncak gunung, situs makam tua berderet diantara rindang pohon dan semak belukar. Disana rahasia itu mendekam. Rahasia-rahasia yang selama ini dikunci dalam sebuah peti, bahkan sekedar berceritapun tak boleh seenaknya. Lontar-Lontar yang menyimpan rahasia itu tak boleh dilongok, kecuali lewat prosesi dan ritual khusus dengan memotong seekor kambing bahkan kerbau. Sebuah perjalanan untuk menguak rahasia-rahasia dalam lontar-lontar Mandar tersebut dimulai dari sisi yang lain. Tak ada persembahan, tak ada ritual, sebab kali ini kami datang berdialog dengan leluhur kami”.
Menuju Perkampungan Tua Sa’dawang
Perjalanan dari Putta’da ke Sa’adawang bagi anak-anak dan warga local mungkin hanya 30an menit, tapi bagi kami yang menahun baru ketemu gunung bisa saja sampai 1 jam lebih.
Itulah faktanya hari ini, setelah 1 jam berjalan, gunung di pinggiran Kampung Putta’da yang menghubungkan ke Puncak Buttu Suso bisa kami taklukkan dengan nafas tersengal sengal. Tak hanya itu cucuran keringat mengalir deras dari pori-pori bahkan persendian serasa remuk.
Penulis sendiri hamper gagal andaikata tak ada anak-anak yang terus menyemangati bahkan mereka meminta beban dipunggungku diambil alih. Tas rangsel beralih ke punggung anak-anak yang baru belasan tahun. Bahkan jaket dan topi pun berpindah ke tangan mereka.
Seketika, 7 orang anak yang terdiri dari 4 laki-laki dan 3 perempuan itu menjadi staf pribadi penulis dalam perjalanan. Anak-anak perempuan itu bertindak sebagai fotografer yang mendokumentasi setiap titik yang menarik dijepret. Penulis, Anto dan Fian menjadi oyang pertama menaklukkan gunung karena anak-anak Putta’da yang luar biasa itu.
Menyusul Pak Asis, Bahtiar, Bu Tini dan Ifa muncul bersama Pak Rasyid dan anak-anak yang ternyata mengatur diri mereka mengikuti dan membantu setiap tim yang mendaki.
Mereka mengambil peran sendiri-sendiri tanpa menunggu perintah. Hal sama juga terjadi pada Pak Dachlan yang sampai ke Sa’adawang dengan raut yang lusuh. Sekitar setengah jam kami menunggu Pak Budianto Hakim tapi tak juga muncul. Itu berarti, beliau tak mampu tembus ke puncak.
Sinyal tak mendukung, komunikasi terputus. Itulah Sa’Adawang, kampung tua yang kini menjadi areal petak sawah. Puncak Suso menjulang gagah dan tegar. Disinilah pertama kali Topapo Daeng Palulung mendefenisikan cintanya pada Tomesaraung Bulawang.