Setelah sumpah perdamaian dilakukan, orang Mehalaan, tidak lagi berani bermusuhan walaupun agama mereka berbeda. Hubungan kekeluargaan jauh lebih penting. Hubungan buku rara jauh lebih diutamakan.
DI/TII Menyerang Sumarorong
Masih dalam catatatn Albert Allo (2015), pada tahun 1952 pasukan DI/TII Matangnga merekrut para pemuda sampai ke kampung Salubalo di Sumarorong. Kebanyakan pemuda ini masih menganut aluk todolo’. Untuk amannya pemuda-pemuda Salubalo bersimpati ke DI/TII. Para pemuda ini latihan militer di Salubalo. Ambe’ Balo’ diangkat sebagai kepala gerilya DI dan komandan DI/TII di Dusun Palappang, Salubalo adalah S. Buttu (Pua’ Sondong) dan Komandan Kompinya, Pulung (Tomakaka Biring). Komandan DI/TII di Matangnga adalah Salo’do’ eks Polisi di zaman Belanda. Salo’do’ masih sepupu dekat dengan Je’ne’ (Mara’dia Matangnga) dan ketika Salo’do menyatakan diri masuk DI/TII, maka Mara’dia yang pro pemerintahan RI merasa terganggu dan terancam lalu meninggalkan Matangnga, mengungsi ke Salubalo, Sumarorong. Setelah tiba di Salubalo, Mara’dia bersama penduduk Salubalo mendirikan bangunan darurat untuk dijadikan kantor distrik Matangnga dan juga membuka hutan di Ratte Appalla’ untuk dijadikan kebun.
Mara’dia datang bersama sekretarisnya bernama Dullah. Beberapa bulan kemudian kantor Distrik Matangnga pindah ke Sasakan, dekat ujung titian Sasakan. S. Buttu (Pua’ Sondong) bersama sepupunya yakni Pua’ Sa’pi’ dan pemuda Salubalo yang pernah direkrut jadi anggota DI/TII menyatakan diri keluar dari DI/TII setelah mendapat penjelasan dari Mara’dia Matangnga bahwa gerombolan DI/TII adalah pemberontak yang melawan pemerintah pusat. Mereka bergabung kembali ke RI dan membantu tugas–tugas Mara’dia dalam pemerintahan. S. Buttu kemudian bertugas sebagai guru Pemberantasan Buta Huruf (PBH) di Salubalo.
Suatu saat gerombolan DI/TII masuk Sasakan dan menjarah Kantor Distrik. Semua barang dalam kantor diambil termasuk lemari dan kursi-kursi kantor. Kantor Distrik lalu dipindahkan ke Sumarorong (di lokasi pasar Sumarorong sekarang) menggunakan rumah seorang penduduk bernama Dalang. Beberapa waktu kemudian kantor distrik dipindahkan lagi ke dekat lokasi mesjid Sumarorong. Ketika berkantor di Sumarorong, Mara’dia mengangkat D. Bessa sebagai juru tulis.
Pada tahun 1957 tidak ada TNI yang bertugas tetap di Sumarorong sehingga gerombolan DI/TII bebas masuk ke Sumarorong. Suatu saat Ambe’ Pasula’ pergi ke Matangnga untuk mencari buah kalosi (pinang), tetapi tidak kembali. Ia diperkirakan hilang di Pasapa’ Matangnga dibunuh oleh gerombolan DI/TII. Mayatnya tidak pernah ditemukan. Beberapa waktu kemudian terjadi lagi pembunuhan di Salubalo. Disinyalir anak buah Salo’do’ datang ke Salubalo untuk memantau keberadaan TNI. Gerombolan DI/TII ini datang hanya bersenjatakan parang dan tombak dan mendekati kampung Salubalo untuk mengintai. Di dusun Dadeko, 2 km dari Salubalo, gerombolan ini bertemu dengan Ambe’ Palin di kebunnya. Karena gerombolan ini lapar, mereka menyuruh Ambe’ Palin masak nasi yang ada dipondok kebunnya dan juga menghidangkan ayam sebagai lauk pauknya. Mereka dijamu oleh Ambe’ Palin secara baik-baik layaknya tamu.
Setelah gerombolan makan, Ambe’ Palin di bawa ke sungai kecil dekat pondoknya dan ditikam dengan maksud dibunuh agar tidak segera melaporkan kehadiran mereka kepada TNI atau orang sekampungnya. Ambe’ Palin ditinggalkan di tepi sungai karena dikira sudah meninggal. Setelah gerombolan pergi dengan tergesa-gesa karena takut ketahuan, selanjutnya Ambe’ Palin dengan sisa tenaga yang ada, berjalan dan kadang-kadang merayap menuju ke kampung Salubalo dengan usus keluar dari luka di perutnya. Penduduk Salubalo gempar dan segera mengungsi ke Sumarorong dan segera melaporkan kejadian tersebut kepada tentara yang bertugas di Sumarorong. Tapi reaksi tentara hanya menembak ke udara menakut-nakuti gerombolan tetapi tidak mencari gerombolan tersebut.
Ambe’ Palin dibawa ke Gudang Damar (Kantor Koramil Sumarorong sekarang) karena belum ada rumah sakit waktu itu. Ia hanya diobati secara tradisonal, lukanya tidak dijahit. Setelah seminggu tanpa perawatan medis yang memadai, Ambe’ Palin akhirnya meninggal. Rupanya pasukan kecil gerombolan yang membunuh Ambe’ Palin bertugas sebagai pangintai karena tak lama sesudah itu, DI/TII kembali menyerang dalam jumlah besar dan persenjataan yang lengkap. Kejadian ini dimulai dengan serangan pasukan DI/TII dari arah Pasapa’ Matangnga menuju Salubalo dan kelompok pasukan lainnya menyeberang sungai Mamasa di hutan Bussu menuju hutan pasir putih (sekitar SMK Negeri Sumarorong sekarang). Serangan ke Salubalo terjadi sekitar jam 15.00 sore. Ketika itu, setelah peristiwa pembunuhan Ambe’ Palin, penduduk Salubalo membuat pos penjagaan di sekitar Salubalo, tetapi pasukan DI/TII tidak melalui pos tersebut sehingga kedatangan gerombolan ini tidak diketahui dengan cepat.