Seorang wanita beragama Kristen bernama Kende’ (Indona Bulung) tertangkap gerombolan. Ia dibawa ke pos ronda dan diinterogasi. Peristiwa ini disaksikan oleh saudara laki-lakinya bernama Patta (Ambe Lone) yang beragama Islam. Atas bantuannya, Kende’ bisa selamat dan kembali bergabung dengan penduduk beragama Kristen yang telah mengungsi ke hutan di sekitar Mehalaan.
Setelah pembakaran rumah dan gereja, penduduk Mehalaan yang beragama Kristen mengungsi lebih jauh. Mereka yang mengungsi kurang lebih 30 orang berjalan kaki menyusuri tepi sungai terus masuk hutan. Ketika malam tiba mereka bermalam di sebuah gua batu besar. Mereka menyalakan api dan memasak beras yang mereka bawa dengan cara dibakar dalam bambu (dileong) karena tidak ada belanga. Menjelang pagi mereka tergesa-gesa mematikan api agar asap tidak terlihat menjulang ke langit yang akan memperlihatkan arah pelarian mereka. Mereka terus berjalan menuju ke kampung-kampung tetangga yang beragama Kristen. Mereka menyebar dari kampung Galung, Leko, Sika, Salukonta dan sebagian sampai ke Sindagamanik.
Setelah beberapa bulan di tempat pengungsian, pada awal tahun 1953, penduduk Kristen Mehalaan kembali ke kampung halaman dan membuat pondok-pondok di kebun-kebun mereka dekat kampung. Mereka belum berani kembali ke lokasi rumah mereka yang telah terbakar.
Suatu saat 4 orang tokoh Islam, Takke, Mara’dia Tu’bi, Salo’do’(yang disapa Pua’ Zaina’ dan merupakan pemimpin DI/TII di sekitar Matangnga sampai ke Mambi) dan juga Mammu’ yang biasa dipanggil Markus (disinyalir sebagi penunjuk jalan ketika pasukan DI/TII menyerang Mehalaan dan Keppe’) mengadakan rapat rahasia di kampung Paladan, Mehalaan. Tempat rapat di rumah Takke. Hasil rapat mereka adalah: “Semua umat Kristen Mehalaan diberi waktu 3 hari untuk memutuskan, masuk Islam atau tidak. Jika mereka tidak mau masuk Islam maka mereka akan ditembak mati semua”.
Rencana ini bocor karena terdengar oleh seseorang yang lewat dekat tempat rapat tersebut. Orang tersebut segera menghubungi penduduk Mehalaan yang beragama Kristen. Kepala Desa Mehalaan, Leonard segera bertindak menugaskan beberapa kurir untuk menghubungi orang Kristen Mehalaan yang tersebar di hutan-hutan sekitar Mehalaan agar mereka mempersiapkan diri untuk mengungsi secara diam-diam dengan terlebih dulu menyiapkan bekal dalam perjalanan.
Malam hari penduduk Kristen menumbuk padi dengan cara lesung ditanam dalam tanah agar tidak terdengar oleh gerombolan DI/TII ketika mereka menumbuk padi. Keesokan harinya sekitar pukul 15.00 (jam 3 sore), mereka mengungsi dari kampung halaman untuk kedua kalinya. Saat itu terjadi keajaiban, tiba-tiba kabut tebal turun disekitar Mehalaan sehingga keberangkatan mereka tidak terlihat oleh gerombolan DI/TII. Mereka kembali mengungsi secara terpisah-pisah ke Galung, Leko, dan Sindagamanik.
Pada bulan Agustus 1953, atas inisiatif Kepala Desa Galung, P. Buntu (ayah dari Levinus Buntu, mantan Camat Sumarorong), penduduk Mehalaan Kristen dan Islam yang sebenarnya masih bersaudara dan berkerabat sangat dekat didamaikan. Perdamaian dilakukan dengan tanda memotong seekor kerbau jantan sambil mengucapkan sumpah. Satu orang mewakili saudara Kristen dan satu orang mewakili saudara Islam masing-masing memegang salah satu tanduk kerbau. Sumpah diucapkan secara sakral dengan bersunggu-sungguh.
Kalimat sumpah tersebut sebagai berikut: “Benna-benna yolo umpa kende’ pa’pasanga-sanga anna surung kende’ kasisalaan to Sallang anna to Sarani, la nasasi sau’ nasasi rekke tanduk tedong, anna umba susi budanna inde bulu tedong e, la pada mi to’o salu saki lana sisik susi balu’bu’ tama kalena”.(Barang siapa yang memulai perbuatan atau tindakan yang menyebabkan umat Islam dan umat Kristen berselisih atau bermusuhan, hidupnya akan menderita bagaikan di tanduk kerbau kesana kemari, dan sebagaimana banyaknya bulu kerbau ini, demikian pula banyaknya penyakit yang akan menusuk tubuhnya bagaikan duri yang beracun).