Menolak Lupa: Membangun Kesadaran Kolektif Lewat Kenangan (Bagian 2)

Taman Bambu Runcing Polewali (Foto: Screen Shoot dari Google)
Taman Bambu Runcing Polewali (Foto: Screen Shoot dari Google)

Catatan: Muhammad Munir

Mengenang Pangiu dan Letnan Tarrua

DUA sosok yang terlupakan dalam narasi sejarah pada bagian 1 dari tulisan ini yakni I Masa dan Majidong. Kali ini, kami menemukan sosok Pangiu dan Nyompa yang begitu berjasa dalam proses perjuangan mempertahankan republik ini.

Pangiu dan Nyompa adalah pimpinan bagi para pemuda pejuang (Laskar GAPRI 5.3.1 dan KRIS MUDA) dari daerah Paku dan Pajalele yang berjumlah kurang lebih 50 orang.

Pada tanggal 16 Agustus 1946, mereka menuju Tonyamang dan menyatu dengan para pemuda pejuang di daerah itu. Salah satu targetnya adalah mencari senjata yang disembunyikan oleh tentara Jepang.

Mereka mendapat kabar bahwa para penguasa Jepang menyembunyikan banyak senjata dengan cara menanamnya di bawah pohon mangga, sebelum mereka menyerah.

Di Tonyamang, terdapat satu regu regu Polisi NICA yang bertugas dengan senjata lengkap. Sekitar jam 22.30 para pejuang mulai melakukan penggalian setelah terlebih dahulu memutuskan kawat telepon antara Tonyaman dan Polewali.

Sementara penggalian berlangsung, ada suara anjing manggonggong sehingga, polisi mengeluarkan tembakan dua kali dan terdengar sampai ke Kota Polewali.

Controleur Polewali G.J. Monsers Ialu menelpon polisi ke Tonyamang, tetapi tidak ada jawaban karena telepon telah diputuskan. Tidak lama kemudian, sebuah mobil yang ditumpangi Controleur bersama pengawalnya tiba di Tonyamang. Pertempuran pun tidak dapat dihindarkan.

Dalam pertempuran itu Controleur Polewali G.J.Monsers tewas bersama beberapa orang anggotanya. Para pemuda pejuang berhasil pula merampas satu pucuk pistol dan Owen Gun. Dalam pertempuran itu dari pihak pejuang tidak ada yang jatuh korban.

Atas kejadian tersebut, esok harinya satu peleton tentara NICA/KNIL menangkapi semua laki-laki dewasa yang ada di Tonyamang. Mereka disiksa habis-habisan. Tak berhenti sampai di situ, tanggal 18 Agustus, pasukan KNIL/NICA melancarkan serangan balasan terhadap markas pemuda/pejuang di Silopo.

Pangiu dan kawan-kawan memberikan perlawanan mati-matian. Pabi, pemuda pejuang gugur. Padara, Sida, Mada, dan Pungga Sampe luka parah dan tertangkap. Markas pejuang dibakar habis oleh musuh.

Awal September, dipimpin Ambo Damma, pejuang menyerang markas musuh di Bungi. Dalam peristiwa ini, lima orang gugur yaitu Amba, Tanai, Billa, Badusama, dan Mangundang.

Pertengahan September, pasukan Pangiu Komandan Kompi III melakukan penghadangan di Mirring Polewali, namun mereka tidak berhasil.

Granat yang dilemparkan jatuh di belakang mobil musuh. Beberapa orang yang kebetulan ada di sekitar daerah penghadangan ditangkap, disiksa dan dibunuh oleh pasukan musuh.

Akhir September, Pangiu kembali menyerang mata-mata musuh di Binuang yang dipimpin oleh Wa Saira. Wa Saira terbunuh dalam peristiwa ini.

Awal Oktober para pejuang di bawah pimpinan Nyompa menyerang mata-mata musuh dan pos polisi NICA di Paku. Beberapa mata-mata musuh berhasil ditangkap dan dibunuh.

7 Oktober 1946, terjadi pertempuran antara pejuang yang dipimpin Masse dan Landi dengan serdadu KNIL di Kalosilosi. Empat pejuang gugur, yaitu dipimpin Masse, Tangnga, Reken, dan Kadongboli. Di pihak musuh empat orang mata-mata ditangkap, dibawa ke Riso,Tapango, diadili dan dibunuh.

Pertengahan November, pejuang juga melakukan aksi-aksi lainnya mengganggu musuh. Aparat KNIL dan polisi NICA menangkap Andi Hasan Mangga, Alex Pattola, Pene Dg Pasanre, H. Ummarang, La Hamma, Pangiu, Tamalino, Nongngo, Salampang, Panikkai, Labulan, La Gante, Ati Dg Patoangin, Tonang, Manangi, Panjang, Pama, dan Kati.

Sebagian besar ditembak mati dan yang lainnya dipenjarakan. 3 Desember 1946, dipimpinan H. Umri dan Nyompa pejuang melakukan penyusupan besar-besaran ke Kota Polewali untuk melaksanakan penyerangan terhadap kantor Controleur/NICA. Meski demikian, kekuatan para pejuang kian hari kian terdesak.

***

8 Oktober 1946, serdadu KNIL menyerang markas pejuang di Tabone. Akibatnya, empat orang pejuang gugur, Lattone, La Runa, Tola dan Tabara (seorang perempuan tukang masak).

Beberapa orang terperangkap antara lain Onjang, Apo dan Tanah. 10 Oktober 1946, pejuang bertemu di Kelapadua. Hasilnya merencanakan penyerangan umum terhadap musuh di Kota Polewali pada 12 Oktober.

12 Oktober 1946, dipimpinan Controleur Polewali, Yonasse, serdadu KNIL mendadak menyerang markas pejuang Kompi II di Kelapadua. Dua puluh satu orang pejuang gugur dan beberapa orang ditangkap, markas pejuang dibakar musuh.

13 Oktober 1946, pasukan KNIL menangkap Ba’du di Kelapadua. Ba’du sama sekali tidak mau menyebutkan tempat persembunyian kawan-kawannya sesama pejuang, karena alasan itulah, Belanda menembak Ba’du dan gugur sebagai pejuang republik ini.

14 Oktober 1946, berdasarkan informasi dari seseorang penghianat, serdadu KNIL mengetahui lokasi dan menyerang markas pejuang di Gua Salu Bayo. Dalam pertempuran tersebut, Komandan Kompi II Tarrua gugur bersama kedua puteranya, Sampeani dan Lira.

Letnan Tarrua adalah Komandan Kompi II Pasukan Kris Muda Mandar yang bermarkas di Gua Salu Bayo.  Gugurnya Letnan Tarrua ini diabdikan dalam sebuah monument yang berada pas disampaing Kantor Desa Kelapa Dua Kecamatan Anreapi.

Untuk mengenang dan menghargai, jasa-jasa pejuang (Pangiu, Nyompa dkk) dibangunlah Monumen Bambu Runcing/Tiga Pahlawan Pejuang Kemerdekaan, dan Monumen Perjuangan 45. Keduanya berada di kota Polewali. Termasuk juga Letnan Tarrua, terdapat monument Parengnge Letnan Tarrua yang terletak di samping Kantor Desa Kelapadua, Kecamatan Anreapi.

Mereka adalah pejuang yang telah berjuang sampai tetes darah terakhir. Sayangnya, mereka tak seberuntung Hj. Andi Depu dan beberapa pasukannya.

Keberadaan Pangiu, Nyompa, Letnan Tarrua dan lainnya nyaris menjadi nama asing bagi generasi Mandar yang berada di Polewali dan Binuang. Bahkan, penulis sendiri belum pernah menemukan turunan atau keluarga besar mereka. Mereka seakan hilang (atau dihilangkan?) dalam narasi panjang perjuangan di daerah ini.