Menjejak Pusat Pemerintahan Daetta Tommuane

Masjid Kerajaan Balanipa di Desa Tangnga-Tangnga 
Masjid Kerajaan Balanipa di Desa Tangnga-Tangnga 

Seharusnya saat panitia merobohkan bangunan masjid kerajaan, panitia pembangunan mendesain masjid tersebut dengan konsep semi tradisional modern. Mulai dari tiang-tiang penyangga empat buah, sebagai simbol Appe’ Banua Kayyang. Tiang luar masjid (teras) seharusnya 12 untuk melambangkan Ana’ Banua dan 10 pintu masuk atau jendela sebagai simbol Sappulo Sokko.

Di samping itu, panitia seharusnya membangun tempat wudhu khusus untuk Arajang dan khusus untuk jamaah biasa. Pondok pesantren kembali dibangun dan dikembangkan sebagai lembaga pendidikan Islam dan pusat kajian keislaman bagi generasi selanjutnya.

Dengan demikian, keaslian sejarah tentang peradaban Balanipa dan peradaban Islam pada saat itu tetap terjaga dan lestari, termasuk menjadikan Daetta Tommuane sebagai sosok yang mesti diabadikan.

Buttu Ciping

Buttu Ciping yang hari ini dikenal sebagai kawasan Taman Budaya Sulawesi Barat ini adalah gunung yang menjadi perantara Tammajarra Napo dengan pusat ibukota kerajaan Balanipa di Tangnga-Tangnga. Di kawasan Buttu Ciping ini terdapat beberapa situs makam kuno (pra Islam) dan pemakaman Islam. Termasuk di kaki bukit ini terdapat pemakaman raja-raja Balanipa.

Kami memilih titik sekitar Boyang Kayyang untuk mengintai barang tinggalan sejarah yang bisa dijadikan bukti bahwa dahulu kawasan Buttu Ciping ini adalah pemukiman atau perkampungan tua.

Muhammad Amir dalam pengintaian benda-benda arkeolog di Buttu Ciping area Boyang Kayyang

Sekitar 1 jam lebih kami berpencar untuk mengintai benda-benda tinggalan sejarah, kami akhirnya bisa menemukan beberapa batuan yang disinyalir oleh Budianto Hakim memilki kemiripan dengan jenis batu neolitik yang digunakan untuk membuat beliung dan kapak persegi.

Sesungguhnya kami masih memiliki kesempatan untuk mencari temuan-temuan yang lebih banyak lagi, tapi cuaca kurang bersahabat sehingga pencarian diakhiri di kedai halaman Boyang Kayyang. Kami ngopi dan diskusi sejenak lalu bubaran. Tim kembali ke Davina Hotel di Majene.

Sebelum bubar, Budianto Hakim memberikan informasi kepada penulis untuk melacak keberadaan Kampung Laiya di Tammangalle untuk obyek riset harinya. Penulis dan A’ba Lele sama-sama baru mendengar istilah kampung Laiyya. Tapi Pak Budi tak mungkin mengada-ada dan tak pernah main-main soal data obyek yang akan diriset. Ia mengatakan bahwa kampung Laiya itu berada tidak jauh dari Jalan Trans Sulawesi Desa Tammangalle.  

BERSAMBUNG