Pihak Ana’ Pattola (turunan raja yang berhak mengganti) mendapat dukungan dari bija daeng, mengajukan Daetta Tommuane, sementara dari pihak anggota ada’ mengusulkan Daetta Tobaine (Putri Tomepayung) yang berhak menjadi arajang.
Kondisi tersebut nyaris menimbulkan konflik horizontal dan perang sauadara sebab masing-masing ngotot untuk mempertahankan dukungannya. Tak ada yang mau mengalah. Beruntunglah kedua kubu ini akhirnya sepakat Daetta Tommuane dan Daetta Tobaine dinikahkan.
Setelah pernikahan dengan sepupunya akhirnya Daetta Tommuane diangkat menjadi Arajang Balanipa ke-4 yang naik tahta naik tahta 1615.
Pada masa pemerintahannya lah Kerajaan Balanipa kembali mengalami kemajuan dari segi ekonomi dan agama Islam mulai diterima sebagai agama resmi kerajaan. Pada saat yang sama dibentuk lembaga Mara’dianna sara’ yang juga disebut Kali atau ‘kadhi’.
Membincang Daetta Tommuane adalah membincang peradaban islam, sebab Ia adalah arajang pertama masuk agama islam dan merombak hukum dan kepercayaan leluhurnya.
Abdurrahim Kamaluddin atau “Tosalama’ di Binuang” adalah sosok yang begitu hebat dan sukses dalam berdakwah. Sebab sasaran yang menjadi obyek dakwahnya adalah mengislamkan bangsawan. Dan terbukti, Kanne Cunang (Mara’dia Pallis) adalah bangsawan pertama yang mampu Ia islamkan. Berita masuknya Kanne Cunang (versi lain Kanna I Cunang) kedalam agama islam ini menarik perhatian Daetta Tommuane.
Tanpa pikir panjang Ia lalu mengundang Abdul Rahim Kamaluddin ke istana untuk berdiskusi tentang agama baru yang beliau sebarkan. Atas penjelasan Abdul Rahim Kamaluddin tentang islam tersebut, sehingga kemudian Daetta Tommuane mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai pertanda masuknya beliau ke dalam agama yang diturunkan kepada umat nabi Muhammad SAW.
Salah satu ucapan Daetta Tommuane yang sekaligus menjadi konsep kepemimpinan yang ia terapkan adalah:
“Naiyya Mara’dia, tammatindoi dibongi, tarrarei diallo, na mandandang mata dimerrandanna daung ayu, dimalimbonna rura, dimadinginna lita’, diajarianna banne tau, diatepuanna agama”. (Adapun seorang raja, tidak dibenarkan tidur lelap di waktu malam, berdiam diri dan berpangku tangan di waktu siang hari. Ia wajib selalu memperhatikan akan kesuburan tanah dan tanam-tanaman, berlimpah ruahnya hasil tambak dan perikanan, damai dan amannya Negeri/ kerajaan, berkembang biaknya manusia/penduduk dan mantap teguhnya agama).
Membaca pernyataan tersebut, penulis bahkan kaget dan berfikir bahwa ternyata konsep Pancasila sebelumnya telah lahir di Mandar, jauh sebelum lahirnya Indonesia. Bukan hanya itu, Daetta Tommuane juga merupakan perintis berdirinya semacam pesantren yang disebut muking ‘mukim’ yang merupakan adopsi model pendidikan yang telah terselenggara di Tangnga-Tangnga Lambanan, (bukan Desa Tangnga-Tangnga).