Oleh Haidir Fitra Siagian
SEBELUM subuh, kami sudah meninggalkan hotel menuju pelabuhan penyeberangan sekitar 20 menit perjalanan menggunakan bus, di kawasan Benua Anyar.
Sebelum naik perahu atau klotok, kami melaksanakan shalat subuh di masjid yang berada persis di pinggir Sungai Barito.
Susana masih gelap, satu per satu kami menaiki perahu. Dalam kegelapan subuh, perahu menyusuri sungai membelah air yang amat keruh. Keruh dan bahkan lebih keruh daripada teh tarik.
Baca juga: http://mandarnesia.com/kotak-amal-rp-50-juta/
Beberapa saat terus berlalu, suasana sudah mulai terang, tanda-tanda alam mulai tampak. Inilah cerita yang selama ini kita dengar.
Sungai sebagai sumber kehidupan. Rumah berdiri di atas sungai. Rumahnya menghadap ke sungai, jadi bertamu datang dari sungai.
Sepanjang jalan tampak dengan jelas ibu dan anak mandi di sungai, sebagian lagi mandi di sisi rumah menimba air dari sungai.
Soal bersih urusan lain. Walaupun keruh tetap mandi dengan senang hati. Tampak pula sepanjang sungai ratusan surau atau masjid, juga didirikan di atas sungai.
Tampaknya khatib yang akan khutbah juga datang atau dijemput dengan perahu. Banyaknya masjid ini menunjukkan orang Banjar amat fanatik beragama dan menjalankan syariat Islam dengan penuh kedamaian.
Beberapa rumah dijadikan warung menjual sembako, artinya pembeli datang dari arah sungai. Tampak juga bangunan sekolah di pinggir sungai.
Layaknya jalanan raya, sungai sebagai urat nadi perhubungan, juga dilengkapi rambu lalu lintas.
Tibalah kami di Pasar Terapung, setelah menempuh perjalanan sekitar 40 menit. Pasar terapung ini betul terjadi di atas air sungai.
Penjual menjajakan barang dagangannya di atas perahu. Mereka mendekat ke perahu yang lebih besar yang memuat para pembeli. Layaknya pasar terjadi tawar menawar. Barang yang dijual adalah hasil bumi berupa buah-buahan dan sayuran.
Sebagian ada jualan sembako. Ada pula semacam warung kopi berjalan, pesan martabak dan nasi kuning. Yang tidak kalah serunnya adalah perahu peminta sumbangan, terdiri dua orang. Satu pengendali perahu satu mengarahkan kotak amal kepada pengunjung. Sumbangan untuk pembangunan mushalla dan toilet.
Sebenarnya saya tak berniat belanja walaupun buah dan sayurannya cukup segar. Takut nanti layu sebelum tiba esok di Samata.
Tapi saya tetap memaksanakan diri belanja kepada seorang ibu seteagah tua berjilbab merah. Saya bayangkan ibuku dulu di Sipirok jualan dari pasar ke pasar.
Bayangkan kalau tidak ada pembeli, tentu sedih hatinya.
Saya pun beli ikan gabus yang sudah dikeringkan. Harganya sepuluh ribu per bungkus.
Tampaknya enak digoreng campur cabek merah dengan bawang. Inilah pasar Indonesia, pasar yang asli, bukan yang di supermarket atau mall.
Setengah jam keliling pasar, kami kembali ke dermaga. Tiba di dermaga panitia sudah menyambut dengan soto banjar lengkap dengan teh hangatnya.
Terima kasih FDK UIN Antasari.
Pasar Terapung Tok Baintan, Kalimantan Selatan, Ahad, (29/4/2018). (*)