–Penguatan Identitas, Kebhinekaan dan Kemaritiman Mandar)-
Menelisik Kebhinekaan Sebagai Tonggak Amara’diangan di Mandar (Bagian 3)
Reportase: Muhammad Munir
Semboyan “berbeda-beda tetapi satu” (Bhinneka Tunggal Ika) bukanlah sesuatu hal yang baru, sebab semboyan itu telah tertulis dalam Kitab Sutasoma yang dikarang oleh Empu Tantular pada era Kerajaan Majapahit. Bhinneka tunggal ika tidak hanya menunjukkan adanya tujuan untuk mencapai suatu tatanan kehidupan masyarakat yang bersatu dan harmoni dalam keberagaman, tetapi semboyan itu juga dibutuhkan untuk mengikat atau sebagai perekat kebinekaan Indonesia.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa bangsa Indonesia bukan hanya terdiri atas kurang lebih 500 suku bangsa, melainkan juga terdiri atas berbagai bahasa, budaya, agama, adat istiadat, pranata sosial, sistem ekonomi, dan sistem politik yang dipraktekkan pada tingkat lokal (Abdullah,2015:1). Namun berdasarkan Kementerian Sosial bahwa terdapat lebih dari tujuh ratusan suku bangsa di Indonesia. Oleh karena itu, kebinekaan merupakan keniscayaan dan kebersamaan atau persatuan merupakan dambaan. Karakter bangsa yang mengakui kebinekaan dan mendambakan persatuan itulah yang harus dijaga dan dibangun dalam konteks kekinian dan menyongsong masa depan Indonesia.
Dalam konteks sejarah Mandar yang kini menjadi provinsi tersendiri dengan nama Provinsi Sulawesi Barat, kebinekaan juga telah mendasari pembentukan sebagian besar amara’diang (kerajaan) di wilayah tersebut. Pada umumnya amara’diang yang terbentuk di Sulawesi Barat pada masa lampau, merupakan kesepakan atas sejumlah pimpinan negeri (banua atau lembang) yang disebut tomakaka’ atau pappuangan atas nama rakyat untuk menata kehidupan bersama di suatu daerah atau wilayah tertentu. Dalam manuskrip lokal yang disebut lontara’ antara lain dikisahkan bahwa di wilayah Mandar terdapat sekitar 41 tomakaka, yang masing-masing memerintah di daerah domisilinya.
Keempat puluh satu tomakaka’ yang tersebar di daerah Mandar tersebut, yaitu: 1) Tomakaka’ di Ulu Sa’dang, 2) Tomakaka’ di Motting (Botang, Rantebulahan), 3) Tomakaka’ di Rantebulahan, 4) Tomakaka’ di Lembang Api (Allu), 5) Tomakaka’ di Makula (Pambusuang), 6) Tomakaka’ di Salimbo’bo (Sambo’bo, Ulu Mandak), 7) Tomakaka’ di Lenggo (Mapilli), 8) Tomakaka’ di Batuwulawang, 9) Tomakaka’ di Garombang (Bulo, Mapilli Utara), 10) Tomakaka’ di Taramanu, 11) Tomakaka’ di Pojosang (Napo), 12) Tomakaka’ di Saragian (Allu), 13) Tomakaka’ di Ambo’ Padang (Tubbi), 14) Tomakaka’ di Kelapa Dua, 15) Tomakaka’ di Passokkorang, 16) Tomakaka’ di Malandi (Campalagian), 17) Tomakaka’ di Karamangang, 18) Tomakaka’ di Titie (Campalagian), 19) Tomakaka’ di Lerang-lerang, 20) Tomakaka’ di Napo, 21) Tomakaka’ di Pangale (Samasundu), 22) Tomakaka’ di Sajoang (Allu), 23) Tomakaka’ di Salarri’ (Limboro), 24) Tomakaka’ di Loppong (Renggean), 25) Tomakaka’ di Puttanginor (Allu), 26) Tomakaka’ di Patui (Tandassura), 27) Tomakaka’ di Tande (Majene), 28) Tomakaka’ di Buttupau (Pamboang), 29) Tomakaka’ di Salabose (Majene), 30) Tomakaka’ di Sonde (Tappalang), 31) Tomakaka’ di Salumase (Tappalang), 32) Tomakaka’ di Puttade (Senrana), 33) Tomakaka’ di Seppong (Ulu Mandak), 34) Tomakaka’ di Tabang (Sebelah Timur Mamasa), 35) Tomakaka’ di Balombong (Pamboang), 36) Tomakaka’ di Puabang (Majene), 37) Tomakaka’ di Binuang, 38) Tomakaka’ di Lebani (Mamuju), 39) Tomakaka’ di Kalukku (Mamuju), 40) Tomakaka’ di Kalumpang, dan 41) Tomakaka’ di Lomo, Mamuju (Lontara Balanipa Mandar; Leyds, 1940: 19-20; Rahman, 2014:108-109). Lebih lanjut menurut Darmawan bahwa nama-nama daerah pimpinan tomakaka’ tersebut, sebagian besar masih tersisa sebagai nama desa, lingkungan, rukum kampung (RW), rukun tetangga (RT) di wilayah Mandar sampai dewasa ini. Sementara nama tomakaka’ juga masih terpatri dalam benak orang Balanipa, dibuktikan dengan banyaknya kuburan keramat yang tidak bernama, dan mereka sebut kuburan Tomakaka’, seperti yang terletak di Lampoko, Parappe, Campalagian, Tammangalle, Pambusuang, Samasundu, dll.
Amara’diang Balanipa yang terletak di Kabupaten Polewali Mandar (sekarang) misalnya, pada mulanya hanya terbentuk dari empat negeri (banua) yaitu banua Napo, banua Samasundu, banua Masso, dan banua Todang-Todang. Keempat negeri ini kemudian membentuk persekutuan yang dikenal appe’ banua kaiyang (empat negeri besar), dan persekutuan inilah yang mendasari berdirinya Amara’diang Balanipa. Amara’diang ini lalu mengembangkan wilayah kekuasaanya ke daerah-daerah sekitarnya, baik melalui perjanjian persaudaraan atau persahabatan maupun melalui penaklukan (Rahman, 2014:124; Muhammad Amir, 2022).
Selain Amara’diang Balanipa, terbentuk pula enam Amara’diang di wilayah Mandar, yaitu Amara’diang Sendana, Amara’diang Banggae, Amara’diang Pamboang, Amara’diang Tappalang, Amara’diang Mamuju, dan Amara’diang Binuang. Pembentukan Amara’diang tersebut, juga atas kesepakatan sejumlah tomakaka’ di daerah-daerah tersebut. Pada umumnya pembentukan amaraq’diang itu juga dilatari oleh konflik kepentingan atau persaingan antar tomakaka’ dalam perluasan wilayah kekuasaan. Ketujuh Amara’diang itu dalam perkembangannya menjalin kerjasama yang dikenal persekutuan pitu ba’bana binanga (tujuh Amara’diang di muara sungai atau pesisir pantai) pada abad ke-16. Persekutuan yang terbentuk melalui Assitalliang Tammajarra (Perjanjian Tammajarra) itu, menempatkan Amara’diang Balanipa sebagai ketua (ayah) dan Amara’diang Sendana (Kabupaten Majene, sekarang) sebagai wakil ketua (ibu). Meskipun demikian masing-masing Amara’diang tetap berdiri sendiri, berdaulat, dan mempunyai wilayah otonom dalam pelaksanaan pemerintahan, serta pengelolaan sumber daya alam (Amir, 2017: 247-263).
Namun pusat Amara’diang di wilayah pitu ba’bana binanga, termasuk Amara’diang Balanipa dan Amara’diang Sendana pada awal berdirinya, belum dapat dipastikan hingga saat ini. Demikian pula pemindahan pusat pemerintahan kedua Amara’diang itu dari pedalaman ke pesisir pantai belum berungkap secara konprehensif. Narasi tentang pusat pemerintahan pada awal berdirinya kedua Amara’diang itu, hanya disebutkan di Napo untuk Amara’diang Balanipa dan Sa’ Adawang untuk Amara’diang Sendana. Demikian pula pemindahan pusat pemerintahan dari pedalaman ke pesisir pantai, hanya didasarkan pada keterangan-keterangan lisan dan manuskrip dalam naskah lontara’. Sementara kajian tentang dinamika pusat pemerintahan kedua Amara’diang tersebut, juga belum pernah dilakukan. Baik penelitian yang berdasarkan pada sumber sejarah maupun kajian yang berdasarkan pada data arkeologi.
Dari sinilah riset ini dilakukan bukan hanya bertujuan mengungkap dengan jelas tentang perkembangan pusat Amara’diang Balanipa dan Amara’diang Sendana sejak awal berdirinya hingga periode Islam, melainkan juga untuk menjelaskan dinamika kehidupan sosial, budaya, politik, dan ekonomi kedua Amara’diang itu berdasarkan data arkeologi, sejarah, etnografi, dan lontara’. Selain itu, riset yang dilakukan oleh BRIN sekaligus memberikan pemahaman dalam membangun karakter dan jatidiri bangsa yang berlandaskan pada kebinekaan dan toleransi serta memperkuat identitas dan kemaritiman. Termasuk, meningkatkan kesadaran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan semboyan bhinneka tunggal ika.
Amara’diang merupakan suatu kesatuan pemerintahan yang terbentuk atas sejumlah atau gabungan beberapa negeri yang disebut banua atau lembang di wilayah Mandar (Rahman, 2014:29). Banua yang dimaksud disini adalah wilayah yang dulunya merupakan wilayah yang memakai sistem pemerintahan Tomakaka’ (Abd. Karim, 2018). Pembentukan amara’diang pada umumnya dilatari oleh konflik kepentingan dan perebutan perluasan wilayah kekuasaan. Amara’diang Balanipa misalnya, terbentuk atas persekutuan empat negeri (appe banua kaiyang), yakni banua Napo, Samasundu, Mosso, dan Todatodang. Pembentukan persekutuan appe’ banua kaiyang dalam suatu kesatuan pemerintahan inilah yang kemudian menjadi dasar berdirinya Amara’diang Balanipa. Keempat banua kaiyang yang merupakan daerah inti, tetap menjadi daerah otonom dalam Amara’diang Balanipa (Saharudiin,1985:8; Amir; 2022).
Pada dasarnya amara’diang di Mandar hampir sama dengan kesatuan pemerintahan yang dikenal dengan kerajaan di Sulawesi Selatan. Namun pada riset ini digunakan konsep amara’diang karena kepala pemerintahannya yang disebut dengan mara’dia mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas. Sejak awal pembentukan amara’diang di Mandar, antara mara’dia dengan rakyat telah terikat suatu perjanjian (asssitalliang) yang mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Selain Amara’diang Balanipa, berdiri pula sejumlah amara’diang di wilayah Mandar Sulawesi Barat. Diantarannya amara’diang Sendana, amara’diang Banggae, amara’diang Pamboang, amara’diang Tappalang, amara’diang Mamuju, dan amara’diang Binuang. Ketujuh amara’diang ini kemudian membentuk ikatan persaudaraan yang dikenal persekutuan pitu ba’bana binanga (tujuh amara’diang di muara sungai) dalam menata kehidupan bersama di wilayah Mandar. Persekutuan yang terbentuk berdasarkan Assitalliang Tammajarra (Perjanjian Tammajarra) pada abad ke-16 tersebut, bukan saja semakin menegaskan eksistensi identitas Mandar, tetapi juga menunjukkan bahwa sejak awal pembentukan amara’diang di Mandar telah berlandaskan pada toleransi dan kebinekaan. Istilah orang Balanipa, orang Sendana, orang Majene, orang Tappalang, orang Mamuju dan orang Polewali menunjukkan pengakuan adanya perbedaan di antara mereka. Persekutuan tersebut menempatkan Amara’diang Balanipa sebagai ayah dan Amara’diang Sendana sebagai ibu, serta kelima amara’diang lainnya sebagai anak (Amir, 2017:260). (BERSAMBUNG)