Menguak Assitalliang Sipamandar

Orang luar kemudian mencatatnya Tomandar dan tertata sebagai suku untuk membedakan georafis mereka dengan Toraja, Bugis dan Makasaar. 1908 ketika Belanda berkuasa, lagi-lagi wilayah eks Persekutuan Mandar ini menjadi nama Afdeling Mandar. Adapun mengenai Pemerintah Hindia Belanda yang (datang) membuat persekutuan itu karena basisnya kesatuan sosial dan budaya yang sama. Mereka juga tidak serta merta tanpa mempelajari akar budaya di wilayah Afdeling Mandar (baca: Sulawesi Barat).

Redefinisi Makna Kata Mandar

Dalam berbagai sumber literatur teksnya memang tidak mencatatnya sebagai suku. Ia adalah makna yang sebangun dengan sungai, maloso, Binanga atau Lembang. Fakta-fakta tentang sungai itulah terbangun filosofi Mandar yang diambil dari elemen air (air yang membentuk sungai. Sungai tanpa air adalah bohong).

Filosofi air inilah yang kemudian menjadi nilai bagi orang Mandar karena aktualisasi dari air adalah ‘mencari titik-titik terendah untuk menemukan kemuliaannya”. Tak pernah terjadi air mengalir ke titik yang paling tinggi. Makna inilah yang memjadi karakter orang Mandar. Lagi-lagi Mandar adalah nilai, bukan suku.

Kapan Mandar Jadi Suku?

Mandar jadi suku sejak sejarah mencatatnya sebagai sebuah peradaban yang punya wilayah, bahasa, budaya, sejarah yang disepakati. Kesepakatan inilah yang menerima Mandar sebagai suku.

Jadi tak harus ada yang diperdebatkan dalam makna Mandar sebagai suku, sebagai nilai, sebagai wilayah sebab orang Sulbar sudah faham siapa itu Tomandar (Orang Mandar), Pammandar (Orang yang datang ke Mandar) dan Toi Mandar (Pemilik Mandar). Identitas yang terbangun sejak allamungan Batu dan diperjelas dalam penamaan Afdeling Mandar pada masa penjajahan Hindia Belanda.

Tahun 1971 terjadi sebuah seminar yang pertama di Mandar yang tak lain menegasikan Identitas sebagai Suku Mandar dengan sejumlah produk kebudayaan dari PUS dan PBB. Itu terjadi di SD Negeri 1 Tinambung. Pada tahun 1984, dihelat lagi kegiatan yang sama dan fokusnya masih tentang kebudayaan Mandar.

Tak berhenti sampai di situ, di Polewali juga dilangsungkan seminar tentang kebudayaan Mandar di STKIP DDI tahun 1987. Dekade tahun 1950/1960, para tokoh dari wilayah barat Sulawesi mengusung Mandar sebagai sebuah provinsi, yakni Provinsi Mandar (cikal bakal pembentukan Propinsi Sulawesi Barat).

Tahun 1994, masih dengan spirit Mandar dilangsungkan Perjanjian Tammajarra 3 di Makassar sebagai kelanjutan dari perjuangan pembentukan Provinsi Mandar tapi dengan nama baru, Propinsi Sulawesi Barat. Tahun 2001 terjadi Kongres Rakyat Mandar di Majene untuk penguatan daya dorong Sulawesi Barat sebagai sebuah provinsi. Saat itu, semua perwakilan dari Polemaju (baca: PUS PBB) berkumpul dan melahirkan kesepakatan Provinsi Sulawesi Barat sebagai sebuah keniscayaan.

Pada kata Mandar, terdapat tiga komponen kata yang juga penting untuk dielaborasi makna kedalamannya, yakni Tomandar adalah mereka yang dari suku lain tapi memilih tinggal dan berdomisili secara turun temurun di wilayah Mandar.

Pammandar adalah mereka yang memang datang ke Mandar untuk mencari nafkah, tidak tercatat secara administrasi sebagai penduduk Sulbar. Hal ini sama dengan status orang-orang Mandar yang pergi ke Singapura, mereks disebut Passa’la’ atau Passingapura dan lainnya. Adapun Toi Mandar adalah mereka yang secara genetik lahir dari ibu dan bapak dari orang Mandar.

****

Postulat dari tulisan ini adalah Mandar itu sebagai persekutuan, Mandar sebagai nilai, Mandar itu wilayah dan sampai kepada Mandar sebagai Suku.

Yang terakhir inilah yang mesti dibangun kesepakatan bahwa orang Mamasa (PUS) tak usah dipaksa jadi Tomandar, sebab mereka juga Toi Mandar (pemilik Mandar), demikian juga orang Mamuju, Budong-Budong, Baras, Kakumpang, Pattae, Pannei, Pattinjo, Pakkado, Pa’denri, dan lainnya adalah Toi Mandar, bukan Pammandar.

Kita adalah Mandar yang hari ini terbuhul dalam ikatan Sulawesi Barat. Epos purba Lagaligo menyebut kita sebagai Menre. (*)