Mengungkap Pusat Peradaban Balanipa – Sendana | Penguatan Identitas, Kebhinekaan dan Kemaritiman Mandar | Bagian 20
Reportase: Muhammad Munir
Berdasarkan sumber lontar, makalah Kalang Sadaid dan A.M. Mandra serta cerita rakyat yang tertuturkan dapat disimpulkan, mulanya pemukiman Sa’adawang didiami pertama kali oleh I Mana Pahodo atau Daeng Tumana’ dari Tabulahan dengan istilah kepemimpinan Bawa Tau.
Begitu juga pendatang berikutnya, dua orang kakak-beradik yaitu Daeng Palulung yang digelar Topapo atau Torammo’ (Si Ompong) dan adiknya bernama Daeng Sirua yang digelar Tobonde’ (orang dari pesisir) berasal dari Luwuk (Palopo) Sulawesi Selatan. Walau dalam lontar yang sama (pattappingang) begitu juga lontar Balanipa justru menyebutkan, Daeng Palulung berasal dari Tabulahan (Ulu Salu).
Ada perbedaan antara yang tercatat dalam Lontar dengan makalah Drs. H. Kalang Sadaid. Lontar menyebutkan bahwa, Tomesaraung Bulawang adalah seorang perempuan dan merupakan putri Arung ri Bone, istri dari Daeng Palulung.
Sementara Kalang Sadaid menulis bahwa Tomesaraung Balawang itu adalah gelaran dari I Amana Pahodo, seorang laki-laki dan itulah mara’dia (raja) Sendana yang pertama.
Tidak diketahui secara pasti, pada tahun berapa kedua kelompok pendatang ini mendiami perkampungan Sa’arawang di puncak bukit Putta’da’, yang selanjutnya disebut Sendana itu, diduga pada akhir abad ke-13 Masehi sebagimana telah diuraikan pada bagian awal buku ini.
Kedatangan Daeng Palulung Topapo bersama dengan adiknya Daeng Sirua Todzibonde, telah merubah model kepemimpinan dari bawa tau menjadi tomemmara-mara’dia yang kelak menjadi mara’dia.
Berdasarkan kajian dan pengamatan di lapangan dapat disimpulkan, bahwa kerajaan Sendana mulanya dibentuk dari penyatuan dua pemukiman besar yaitu Sa’adawang di puncak Gunung Putta’da’ dan Tallambalao di Pangaleroang. Yang bermukim di Sa’adawang diwakili oleh Daeng Palulung Topapo.
Sementara di Tallambalao Pangaleroang diwakili oleh Ta-Andiri. Keduanya bersepakat untuk membangun sebuah negeri dan mengangkat Daeng Palullung sebagai Tomemmara-Mara’dia (raja) pertama di Sendana.
Kerajaan Sendana mulai berkembang setelah penyelenggaraan pemerintahan dipindahkan dari bukit Putta’da’ di Buttu Suso ke Podang (sekarang Desa Banua Sendana). Awalnya, roda pemerintahan dijalankan oleh Puatta I Podang, seorang koordinator lembaga adat (pa’bicara kaiyyang) di sekitar abad ke-14 Masehi.
Hal itu dilakukan karena Daeng Maritu’ selaku pemimpin wilayah, tomemmara-mara’dia pergi merantau dan tidak lagi kembali ke Sendana. Puattta I Podang selaku koordinator lembaga adat (Pa’bicara Kaiyyang) mengambil peran dalam menjalankan dan melaksanakan roda pemerintahan.
Dalam perjalanannya kemudian, Kerajaan Sendana, selanjutnya diperintah oleh seorang pemimpin, mara’dia (raja) Tomissawe di Mangiwang di abad ke-15 Masehi atau sekitar tahun 1540-an. Tomissawe di Mangiwang adalah seorang putra Tomanurung ri Gowa (bangsawan Kerajaan Gowa) hasil perkawinan dengan putri raja Baras.
Dalam catatan sejarah, kehadiran Tomanurung ri Gowa diKerajaan Baras berawal dari penolakan terhadap Daeng Matandre’ Karaeng Manguntungi Tumapparisi Kallona yang dilantik oleh Bate’ Salapang (Hulu Balang) Kerajaan Gowa untuk menjadi raja Gowa ke-9 (1510 – 1546).