Kedua kakak beradik sebagai pendatang baru di Sa’arawang Buttu Suso itu kemudian diberi gelar Topapo (Si Ompong), sementara sang adik diberi gelar Todibonde’ (orang berasal dari pantai).
Topapo dan Todzibonde inilah yang berkembang biak di Desa Puttada’, Desa Leppangang, Desa Pundau dan di beberapa desa disekitarnya dalam wilayah Kecamatan Sendana saat ini.
Beberapa benda pusaka yang diwariskan Topapo dan Todzibonde diupacara adatkan (pemanna), setiap empat tahun sekali (patappariama) yang ditandai dengan pengibaran bendera pusaka Cakkuriri dibarengi ritual pemotongan tedzong jamarang (kerbau hitam belang).
Pada saat upacara adat dilaksanakan pengibaran bendera Cakkuriri mappalelo Cakkuriri dan memamerkan pusaka bernama I Po’ga (si runtuh/besi yang sudah keropos) yang diantar ke puncak Buttu Soso kemudian diletakkan di sekitar pohon kayu cendana.
Patut diketahui, Bendera Cakkuriri yang ada sekarang sesungguhnya bukan lagi asli, sebagaimana yang dibawa oleh Topapo dan Todzibonde dari Kerajaan Baras.Yang asli ditengarai terbakar diatas rumah penduduk bersamaan terbakarnya pohon kayu cendana.
Sedang bendera Cakkuriri yang bentuknya segi tiga lancip dengan panjang sekira tujuh meter, dan lebar tiga puluh senti meter yang ada sekarang merupakan replikasi, sebagaimana yang pernah disalin oleh Annangguru Kupa, salah seorang penghulu agama.
Keris pusaka I Po’ga dalam lontar diberi nama Ijarra’, sebagimana yang pernah didisplay pada pameran benda pusaka 15 Agustus 2015 lalu, di lantai dasar Masjid Ilaikal Mashir Majene pada peringatan hari jadi Majene yang ke-470 tampak berjenis “Kondobulo” serupa dengan benda pusaka lainnya yang ada di tanah Mandar, seperti keris pusakaI Manyambungi Todzilaling dari kerajaan Balanipa.
Ada kepercayaan masyarakat Sendana bahwa apabila keris pusaka I Po’ga dicabut dari warangkanya kemudian besi pusaka itu keropos (po’ga’) maka itu pertanda, daerah Sendana akan ditimpa musibah atau malapetaka (Darmansyah, 2018).
Di Sendana Daeng Palulung bersama istrinya, Tomesaraung Bulawang dikaruniai empat orang anak. Dua orang laki-laki dan dua orang perempuan, masing-masing bernama: (1) Ita’da’ yang kelak menjadi cikal bakal keturunan bangsawan hadat di Putta’da’ (2) Puatta I Sa’adzawang, yang kelak menjadi cikal bakal keturunan Pa’bicara Kaiyang di Kerajaan Sendana (3) Indara’ yang kelak menjadi cikal turunan bangsawan raja di Sendana dan (4) Petta Pance’, yang kelak cikal bakal keturunan raja di Kerajaan Mamuju. Indara’ (Inda) kawin dengan Tomanurung di Langi’ dan melahirkan tiga orang anak masing-masing bernama Daeng Maritu’, Daeng Malona’ dan Tasaripi’ (perempuan). Daeng Maritu inilah yang melahirkan keturunan Mara’dia Sendana.
Prof. Dr. Andi Rasyid Asba, M.A, Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Hasanuddin dalam makalahnya berjudl “Filosofi Kekerabatan Politik Tiga Ujung Dalam Membentuk Hubungan Manusia Bugis – Makassar – Mandar” yang disampaikan pada Seminar Nasional Sejarah dan Kebudayaan di Ruang Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Majene, 29 November 2016 menyebutkan bahwa Daeng Palulung adalah putra Datu ri Luwu yang mempersunting putri raja Bone, Tomesaraung Bulawang sebagai pendiri Kerajaan Sendana. Daeng Palulung pertama kali mendarat di perairan Batu Mara’dia yang berada antara Labuang Kelurahan Mosso dengan Apoang Desa Bukit Saman saat ini.
(BERSAMBUNG)