Jejak Penemu Kampung Sa’dawang

Nisan yang disinyalir sebagai Makam Daeng Sirua
Nisan yang disinyalir sebagai Makam Daeng Sirua

Hanya saja, versi ini meyebutkan bahwa Tomesaraung Bulawang adalah gelaran bagi I Mana Pahodo yang menggunakan semacam mahkota kebesaran yang terbuat dari emas.

Latar belakang terbentuknya kerajaan Sendana dalam versi Kallang Sadaid justru dimulai dari kisah kakak beradik yang berasal dari pegunungan Luwuk (Palopo) di daerah perbatasan Rantebulahan (Uluna Salu) mengembara ke pesisir tepatnya di wilayah Kerajaan Baras. Disana mereka mendapat serangan berupa  lemparan batu yang membuat keduanya mencari tahu siapa yang melakukan penyerangan itu.

Dalam pencarian itu, mereka justru medapati setangkai kayu cendana yang dililit selembar kain kuning di sela batu besar. Tangkai kayu cendana itu panjangnya sekira 3 meter, beserta kain lilitan yang panjangnya 2,5 meter dan lebarnya 0,75 meter.

Pada kain kuning itu tertulis lafaz La Ilaha Illallah Muhammadan Rasulullah dalam huruf Arab dan juga gambar kalajengking di bagian tengah serta gambar dua bilah pedang saling bersilangan tertera dibagian ppaling bawah.

Keesokan harinya, kedua kakak-beradik bersama rombongannya itukemudian meninggalkan pesisir pantai Baras menuju ke selatan dan tiba di Tanjung Datuk (Tumbu Budong-Budong Mamuju). Pada saat rombongan ini istirahat, mereka kembali mendapat serangan nyamuk raksasa, konon sebesar burung kakatua.

Mereka akhirnya memilih menghindar dan meninggalkan tempat itu. Rombongan kemudian berhenti di Tanjung Talallere’ Malunda’. Di Talallere’ rombongan ini juga tidak bisa bertahan lama karena diganggu oleh ikan Sori, sejenis ikan terbang bermulut runcing.

Kedua kakak-beradik kembali meninggalkan Tanjung Talallere’ secara terpisah. Kelompok pertama yang ditemani sang kakak itu menuju bukit di bagian Selatan. Sementara kelompok sang adik menyusuri pantai di bagian Selatan. 

Kelompok adik yang melalui pesisir pantai, tiba di Passawallang (tempat mengambil teripang) di Tubo. Di tempat tersebut juga tidak bertahan lama karena lagi-lagi diganggu oleh teripang yang begitu banyak, akhirnya mereka melanjutkan perjalanan dan tiba di kampung Laworing (Somba).

Di Laworing-lah mereka bermukim lebih lama dan mendapat berita bahwa kakaknya yang menuju pegunungan ketika terpisah di Talallere berada diatas bukit yang tidak jauh dari Laworing. Sekitar tiga kilo meter ke arah timur.

Pada hari berikutnya sang adik beserta rombongan berangkat menuju bukit untuk menemui kakaknya. Mereka tiba di puncak gunung Sa’adawang Buttu Suso dimana sang kakak lebih awal tiba di daerah ini.

Tangkai kayu cendana yang didapat di Kerajaan Baras dan dijadikan tongkat itupun kemudian dipancangkan diatas bukit. Tak berselang lama, tongkat itu tumbuh dan kian membesar menjadi penanda wilayah sekaligus menjadi nama daerah itu Cendana atau Sendana.

Kehadiran kakak-beradik di daerah Sa’adawang ini, bukan membuka pemukiman baru, karena jauh sebelumnya sudah ada I Mana Pahodo yang digelar Tomesaraung Bulawang menetap dan dikemudian hari diketahui mempunyai pertalian keturunan dari Tabulahan. Situs makam Tomesaraung Bulawang.

Dua kisah dalam versi Muis Mandra dan Kallang Sadaid ini tetap menjadikan Sa’dawang sebagai pusat kerajaan dan Daeng Palulung merupakan pendatang baru setelah I Mana Pahodo. Bedanya adalah tentang Tomesaraung Bulawang yang menyebut bahwa Tomesaraung BUlawang adalah istri Daeng Palulung sementara Kallang Sadaid mengatakan bahwa Tomesaraung Bulawang adalah gelar dari I Mana Pahodo.