Pada saat yang sama, Daeng Palulung berangkat ke Bone untuk mencari adiknya, Daeng Sirua. Di Bone, ia bertemua dengan Mangkau’ ri Bone. Dalam pertemuan itu Petta Mangkau’ ri Bone meminta kepada Daeang Palulung untuk tinggal sejenak dan menikahi Tomesaraung Bulawang yang juga adalah sepupu dua kalinya.
Setelah kawin, kedua mempelai ini pamitan karena Daeng Palulung harus melanjutkan perjalanannya. Ia meninggalkan kerajaan Bone dengan perbekalan yang cukup melimpah disertai oleh prajurit pengawal kerjaan menuju ke Pattiro.

Di Pattiro mereka membuat 8 unit perahu sebagai moda transportasi dan sampai ke di Mandallek Segeri, Pangkep). Di Mandalle mereka tinggal selama 7 tahun berkebun dan menanam padi. Hasilnya cukup melimpah. Kondisi hasil panen itulah yang menjadikan nama daerah itu sebagai Mandallek yang artinya banyak rezki. Padi hasil panen tersebut nasege-segeri (ditimang-timang) sehingga daerah itu menjadi toponimi penamaan wilayah Segeri.
Misi pencarian Daeng Sirua berlanjut. Hasil panen di Mandallek semua diangkut dan diboyong dalam misi pencarian. Sisa harta di Mandalle yang tidak dibawa serta berupa emas dimasukkan ke dalam dua buah sampan dan ditanam. Rombonga Daeng Palulung berlayar menuju ke utara.
Dalam perjalanannya itu juga ia membawa tongkat dari bahan tangkai kayu cendana. Dalam perjalanan, tiba-tiba ia melihat manusia sedang duduk di atas batu di pinggir pantai. Berkatalah Daeng Palulung kepada pengikutnya, coba dekati orang itu dan tanyakan siapa gerangan? Mereka pun mendekati orang tersebut dan bertanya siapa gerangan orang yang duduk di lepas pantai itu. Orang itu mengaku sebagai Daeng Sirua yang datang dari Luwuk.
Kembalilah utusan Daeng Palulung ke perahu dan menyampaikan kepadanya, bahwa orang yang sedang duduk diatas batu itu, namanya Daeng Sirua, berasal dari Luwuk.
Demikianlah akhirnya dua bersaudara itu saling bertemu. Mereka melanjutkan perjalanan dan tiba di Lakka’ding. Kurang lebih sebulan tinggal di Lakka’ding, Daeng Palulung menuju ke atas puncak gunung dan membuat salassa’ (benteng atau tempat tinggal).
Tongkat dari tangkai kayu cendana yang dipakai Tomesaraung Bulawang, dipancangkan di sebelah selatan Salassa’ diatas bukit dan kayu itu tumbuh subur. Sejak itulah kampung Sa’arawang menjadi nama Sendana. Dari kisah yang dinukil dari buku Kerajaan Sendana yang ditulis oleh AM. Mandra ini, jelas disebutkan bahwa tongkat dari Kayu Sendana yang ditancapkan kemudian tumbuh menjadi pohon besar inil menjadi alasan nama Sa’dawang beruabah menjadi Sendana. Artinya bahwa Sa’dawang telah menjadi perkampungan sebelum Daeng Palulung dan pengikutnya datang ke tempat itu.
Sangat boleh jadi apa yang dituturkan oleh Muhammad Soenoesi, Pa’bicara Tangnga dalam makalah Drs. H. Kalang Sadaid berjudul “Sejarah Sendana Selayang Pandang” pada Seminar Kebudayaan Mandar di Majene tahun 1984 itu juga mesti diakomodir. Dimana makalah itu menyebut bahwa Kerajaan Sendana pertama kali didirikan oleh I Mana Pahodo.
Hal itu juga didasarkan pada lontaran pikiran salah seorang pemuka adat Ulu Salu’, Tumpang Parengge, bahwa I Mana Pahodo adalah Mara’dia (raja) pertama di Kerajaan Sendana dengan gelar “Tomesaraung Bulawang”.