Mengungkap Pusat Peradaban Balanipa – Sendana
Penguatan Identitas, Kebhinnekaan dan Kemaritiman Mandar) | Bagian 19|
Reportase Muhammad Munir
Pukul 14.00 siang, cuaca mendung mengerubungi Buttu Suso, pertanda bahwa hujan akan mulai turun. Dari makam Puangnga Tammalai kami beranjak menyusuri petak-petak sawah menuju sebuah bukit yang terdapat diseberang sungai kecil yang menjadi sumber air untuk mengairi sawah warga.
Bukit yang dipenuhi pohon dan semak itulah terdapat areal pemakaman tua yang didalamnya terdapat beberapa makam tua yang berorientasi barat timur dan sebagian yang lain orietasi utara selatan. Ditengah are itulah terdapat nisan berbahan batu bulat tertancap.
Inilah yang diyakini sebagai nisan makam Daeng Palulung. Di area pemakaman ini nampak sejumlah bekas galian liar yang ditengarai sebagai bekas penjarahan benda-benda purbakala milik leluhur orang Sendana yang ikut tertanam di situs ini.
Daeng Palulung adalah generasi kedua yang terekam dalam catatan manuskrip di Mandar. Ia menjadi pemrakarsa model pemerintahan Tomemmara-mara’dia yang menandai berakhirnya system kepemimpinan Bawa Tau, periode Daeng Tumana. Transliterasi Lontara’ Pattappingang menjadi acuan beberapa penulis untuk menyusun periodesasi sejarah kerajaan Sendana. Pada halaman 369 dijelaskan sebagai berikut:
“Inilah asal-usul Puang di Luwuk yang bernama I Daeng Sirua yang meninggalkan Luwuk menuju Timpuru Donggala. Dari Timpuru menuju ke Labuang Rano. Setibanya di Labuang Rano, ia memerintahkan pengikutnya untuk merapat ke daratan guna mengambil kayu api, setibanya di daratan ia dikejar sepotong bara api. Karena takut dengan kejadian itu, segera ia kembali keperahunya dan menyampaikan kepada tuannya ihwal yang dialaminya. Mendapat laporan itu, Daeng Sirua memerintahkannya kemudian kembali ke daratan untuk mengambil bara itu. Karena perintah, Sang budak itupun segera ke darat mengambil bara api itu dan membawanya ke hadapan tuannya. Daeng Sirua mengambil bara itu dan seketika bara itu menjelma menjadi pusaka/keris yang kemudian diberi nama Ijarra’.
Berdasarkan kutipan lontar tersebut, Daeng Sirua berada di Labuang Rano dan menyuruh budaknya ke darat mencari kayu api. Selang beberapa saat kemudian, budak Daeng Sirua kembali perahu dan menyampaikan kejadian yang menimpanya di darat. Ia dihadang oleh sebauh cahaya dibawah kakinya. Daeng Sirua kemudian meminta agar ia kembali ke darat dan mengambil cahaya yang dimaksud oleh budaknya.
Ia kembali ke darat mengambil cahaya yang melintasinya untuk kemudian diserahkankepada Daeng Sirua. Daeng Sirua menganggap itu adalah pertanda baik sehingga ia meminta agar cahaya itu disimpan baik-baik di lambung perahu. Sejurus kemudian, perahunya bergerak meninggalkan Labuang Rano menuju ke arah selatan hdan tiba di Parrassangang. Disana mereka menerobos hutan dari Parrassangang hingga ke Sungai Mosso.