Ijazah: Selembar Kertas dan Sebuah Harga Diri

Oleh: Muliadi Saleh

“Ia tampak sederhana—selembar kertas bertinta cap lembaga. Tapi ia adalah riwayat. Ia adalah saksi bisu dari pagi-pagi yang diburu, malam-malam tanpa tidur, dan tangis yang tak sempat disuarakan. Ijazah—namanya mengandung cerita, maknanya membawa beban: kejujuran.”

Di balik bingkai kayu di ruang tamu rumah-rumah sederhana, atau terselip rapi dalam map plastik di laci para sarjana muda, terdapat sesuatu yang sering kita anggap remeh tapi begitu penting: ijazah. Kata ini, berasal dari bahasa Arab ijāzah, berarti “izin” atau “pengakuan”. Namun, di tengah zaman yang penuh “jalan pintas”, makna mulianya kini diuji.

Ijazah: Antara Lambang dan Lambang-Lambang Palsu

Ijazah sejatinya bukan sekadar tanda lulus. Ia adalah simbol sahnya perjuangan akademik. Selembar dokumen itu menandakan bahwa seseorang telah melewati kurikulum, diuji, dan dinyatakan mampu dalam satu bidang. Menurut Kemendikbudristek, ijazah adalah dokumen resmi yang diberikan setelah menyelesaikan pendidikan dan lulus dari satuan atau program pendidikan tertentu.

Namun, hari ini kita hidup di dunia yang serba instan. Cukup ketik “jual ijazah cepat” di mesin pencari, dalam hitungan detik akan muncul ratusan tawaran ijazah palsu: dari tingkat SMA hingga doktoral. Sebuah survei oleh Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) Wilayah III Jakarta (2023) menyebutkan bahwa 1 dari 20 perusahaan pernah menemukan pelamar kerja dengan ijazah mencurigakan. Miris, tapi nyata.

Baru-baru ini, kasus viral mengguncang jagat maya: seorang pejabat daerah di Sumatera diketahui menggunakan ijazah palsu untuk menduduki jabatan strategis. Ia akhirnya dicopot dan diproses hukum. Masyarakat marah bukan hanya karena pemalsuan, tapi karena nilai keadilan dihina. Betapa banyak anak muda jujur yang berjuang siang malam demi selembar ijazah—sementara ada yang mendapatkannya dengan klik dan kiriman uang.

Pendapat Ahli: Pendidikan Tak Bisa Dipalsukan

Profesor Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, dalam salah satu wawancara menyatakan: “Ijazah palsu bukan sekadar dokumen bodong, tapi pengkhianatan terhadap dunia pendidikan. Ia merusak kepercayaan publik, merendahkan integritas, dan menciptakan ketidakadilan.”

Senada dengan itu, MUI Kabupaten Lebak mengeluarkan fatwa: penggunaan ijazah palsu adalah haram. Ini bukan hanya urusan hukum positif, tapi juga dosa moral. Sebab, di dalamnya ada dusta yang bisa mencelakakan orang lain.

Dari sisi hukum, UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP mempertegas sanksi. Pemalsuan ijazah diancam dengan pidana penjara hingga 6 tahun dan denda hingga Rp500 juta. Jika ijazah palsu itu digunakan untuk menduduki jabatan publik, hukumannya bisa meningkat jadi 10 tahun dan denda Rp2 miliar.

Hidup Tanpa Ijazah, Apakah Mungkin?

Tentu, dunia mengenal banyak tokoh hebat yang sukses tanpa ijazah: Steve Jobs, Mark Zuckerberg, bahkan Chairul Tanjung pernah “cuti kuliah” lama. Tapi mereka tetap belajar. Yang mereka tinggalkan adalah sistem, bukan esensi ilmu.

Di Indonesia, angka partisipasi sekolah masih menjadi tantangan. Data BPS 2024 menunjukkan bahwa Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi masih di bawah 40%. Namun, penting dicatat: ijazah bukan satu-satunya penentu kualitas manusia, tapi tetap menjadi bukti formal di hadapan sistem.

Jadi, apakah kita bisa hidup tanpa ijazah? Mungkin saja. Tapi hidup tanpa kejujuran? Tidak. Di situlah garis merahnya.

Ijazah dan Martabat

Saya teringat satu kalimat indah dari Buya Hamka: “Ilmu tanpa amal adalah angin lalu. Amal tanpa ilmu adalah api tanpa cahaya.” Maka, ijazah tanpa kejujuran hanyalah lambang yang hampa. Ijazah sejati adalah hasil dari tetes keringat, jerih payah yang halal, dan hati yang tak sudi berbohong.

Di era AI, di tengah kejar target, dan tekanan sosial media, kita butuh kembali pada nilai dasar pendidikan: kejujuran, kerja keras, dan tanggung jawab. Bukan karena kita ingin dihargai orang lain, tapi karena kita ingin menjaga harga diri sendiri.

Kepada kalian yang menempuh jalan panjang, yang rela menahan kantuk demi lulus ujian, yang menangis diam-diam karena IPK tak seindah harapan, ijazah kalian suci. Jangan bandingkan dengan yang curang. Selembar kertas itu adalah bagian dari kisah hidup kalian. Dan hidup yang jujur—sekecil apapun kemenangannya—selalu lebih layak dibanggakan.

“Ijazah sejati bukan dicetak di percetakan,
tapi di hati yang setia belajar.
Dan bila kelak dunia mempertanyakan siapa kita,
biarlah kebenaran menjawab dengan bangga.”

Penulis adalah pemerhati pendidikan, tinggal di Makassar.