Saleko dan Buyung sampai saat ini dianggap sebagai pemilik trah bangsawan raja dan adat di Mandar, khususnya di Balanipa. Hanya sayang, peradaban ini digilas oleh zaman. Penamaan Kabupaten Polewali Mamasa (sekarang Polewali Mandar) harusnya Kabupaten Balanipa tapi faktanya, Balanipa hanya sebatas nama kecamatan dan kelurahan. Bahkan tuntutan untuk mekar dari kabupaten iduk menjadi Kabupaten Balanipa juga tak tentu nasibnya.
Perjuangan pembentukan Kabupaten Balanipa yang diperjuangkan sejak tahun 2005 sampai hari ini hanya mengendap di laci Mendagri dan terselip di map Komisi II di Senayan Jakarta. Moratorium menjadi petaka bagi perjuangan ini, entah sampai kapan.
Kini Saleko dan Buyng hanya akan menjadi dongeng bagi genrasi mendatang. Tak ada yang peduli. Para bangsawan hari ini hanya bangga dipanggil Puang dan Daeng, tapi kondisi makam leluhurnya yang membuatnya terpadang dan dihormati dalam masyarakat jutru terlupakan. Inilah fakta yang sesungguhnya. Para leluhur yang dulu berjuang membangun peradaban agar anak cucunya beradab, jutru kehilangan jati diri sebagai entitas yang maju dan mala’bi’.
Andai sedikit saja kebijakan itu memihak pada leluhur di Saleko dan Buyung, tentu saja makam-makam mereka tidak dijarah dan tidak merana dalam kebisuan malam. Lahul fatihah buat para leluhur di Pemakaman Saleko.
Untuk diketahui, bahwa nisan yang terdapat di Kompleks makam Saleko sebagian besar adalah nisan buatan tahun 1600an sampai 1800an. Adapun fragmen keramik yang ditemukan umumnya klasifikasi Yuan (abad ke-13).
Pada wilayah sekitar juga ditemukan fragmen tembikar/gerabah yang menjadi indicator bahwa Saleko memang salah satu perkampungan tua yang ada di wilayah Amara’diang Balanipa, sebelum dan sesudah terbentuk.
(Bersambung)