Sementara Banua Kayyang Mosso mempunyai Mara’dia (Mara’dia Mosso) namun sebagai simbol saja, bukan jabatan struktural) dan urusan kedalam wilayah Banua Kayyang sendiri dijalankan oleh Pappuangang Mosso dibantu oleh Tomawuweng, Annangguru, Joa’ dan Imam. Ana’ Banua-nya adalah Pambusuang (Mara’dia, Papuangang, Tomawuweng); Lombok (Mara’dia, Pappuangang, Tomawuweng); dan Batu (Pappuangang, Tomawuweng). Terakhir adalah Banua Kayyang Todang-Todang yang mempunyai Mara’dia untuk urusan ke Banua Kayyang itu sendiri. Pemerintahan dijalankan oleh Pappuangang Todang-todang dibantu oleh Tomawuweng, Annagguru, Joa’ dan Imam. Ana’ Banua-nya adalah Batulaya (Mara’dia, Pappuangang, Tomawuweng); Timbo (Pappuangang, Tomawuweng); Pendulangan (Mara’dia, Pappuangang, Tomawuweng).
Keempat wilayah Banua Kayyang ini sebelum terbentuknya Amara’diangan Balanipa adalah wilayah kekuasaan Tomakaka’ Lemo yang pusat pemerintahannya berada di Pendulangan, Puang di Gandang adalah Tomakaka’ Lemo yang tak lain merupakan bapak dari I Manyambungi Todilaling.
Todilaling sendiri lahir di Pendulangan tapi setelah menjadi raja, ia berdomisili di Napo (kawasan Lapuang) yang dikelilingi oleh wilayah kampung-kampung penyanggah yakni Saleko, Buyung, Ranni, Lita Pute dan lainnya.
Dari Tomakaka’ Lemo-lah lahir I Rerasi dan Puang di Gandang. I Rerasi kelak menjadi salah satu istri Raja Tallo (Gowa) ke-7, Batara Gowa Tumenanaga ri Parallakkenna yang melahirkan raja ke-9 yakni Tumapa’risi Kallonna (1510-1546).
Puang di Gandang adalah keturunan Todipali yang tinggal menetap di Balanipa (waktu itu belum bernama Balanipa) dan Lamber Susu (Buah dada panjang) yang tinggal menetap di Kalumpang Mamuju. Keduanya adalah cucu Pongka Padang selaku cikal bakal orang Mandar.
Todipali kemudian melahirkan Tomakaka’ yang diantaranya bernama Tomakaka Lemo dan Tomakaka’ Dipoyosang. Sedangkan Lamber Susu kemudian melahirkan 41 (empat puluh satu) Tomakaka’ yang kembali menyebar ke berbagai penjuru dalam kawasan Mandar. Dan Tomakaka’ adalah pimpinan persekutuan hukum yang timbul dan berdiri sendiri-sendiri pada zaman jauh sebelum adanya Todilaling, mulai dari Tobanua posi’ sampai kepada ayah Todilaling bergelar Puang di Gandang.

Pada umumnya Tomakaka’ bersifat lokal, belum dapat diketahui dengan pasti kapan mulai munculnya, hanya dapat diduga yaitu belum zaman Lagaligo. Dalam sejarahnya, Tomakaka’ berkembang khusus di daerah pantai dan kemudian hilang setelah tampilnya Mara’dia pertama di Balanipa, yaitu I Manyambungi atau Todilaling. Gelar Tomakaka’ sampai saat ini masih digunakan di daerah pegunungan di Mandar.
Setelah mendokumentasi makam-makam tua di Saleko, rombongan kembali ke mobil dan selanjutnya pulang ke Davina Hotel, Majene. Agenda hari kedua ditetapkan untuk menuju ke Napo Buyung. Akses menuju ke Napo Buyung bisa melalui Desa Napo, bisa juga melalui rute Lamasariang Kelurahan Balanipa menuju Oting dan Pande Bulawang. Di Pande Bulawang itulah terdapat pemakaman tua yang dihuni oleh keluarga bangsawan Napo Buyung.