Dari Bumi Manakarra, Struktur DI/TII Terbentuk

Dokumentasi Pasukan Operasi Kilat 1964 (Koleksi Kaimuddin, 2018 Jakarta)
Dokumentasi Pasukan Operasi Kilat 1964 (Koleksi Kaimuddin, 2018 Jakarta)

Sebelumnya pada bulan yang sama, yakni pada 14 November 1955, gerilyawan TII dari Kampung Pewanean, Distrik Seko, Kewedanaan Masamba (Palopo), masuk ke distrik bawahan Kalumpang yakni Ulu Karama, Bonehau, Karatun dan sekitarnya. Mereka melakukan beberapa operasi dalam hal mempengaruhi bahkan memaksa masyarakat untuk ikut kedalam perjuangan mereka. Gerilyawan tersebut berjumlah 150 orang dengan bersenjatakan 6 pucuk senjata api yang terdiri dari 1 pucuk senjata jenis bren, 1 pucuk jenis P.M, 2 pucuk jenis L.E, 1 pucuk jenis Karabiyn Belanda dan satu buah pistol serta lainnya memakai tombak. Pada pukul 05.00 pagi, gerilyawan tersebut mulai memasuki kampung Bau dan Patudaan. Seketika itu juga kedua kampung tersebut dibakar. Semua yang terdapat dikampung tersebut habis dibakar. Akibat kebakaran tersebut, 4 orang meninggal serta 3 mengalami luka-luka.

Setelah mendengar bahwa TII masuk ke wilayah Kalumpang, masyarakat Kalumpang yang dipimpin oleh Paulus Sila’ba kemudian membentuk organisasi semi militer yang dinamakan Organisasi Pertahanan Rakyat (OPR). Atas usaha OPR bersama-sama dengan rakyat melakukan perlawanan terhadap gerilyawan tersebut. Pertempuran terjadi mulai pukul 08.00 pagi sampai pukul 11.00 siang. Dari pihak OPR Kalumpang tidak ada yang gugur kecuali seroang mendapat luka akibat terkena tembakan, dan gerilyawan tersebut mengundurkan diri tidak jauh dari tempat tersebut. Keadaan rakyat sangat menderita, terutama di Kampung Bau dan Patudaan distrik bawahan Ulukarama.

Keadaan hampir sama (kacau balau) juga terjadi di Distrik Karossa dengan Lariang. Lain halnya di Budong-Budong, Lumu dan Sampaga. Keadaaan di kampung tersebut terbilang aman dan segala sesuatunya berjalan lancar berkat kerja sama dari pihak pemerintah dengan TNI dan masyarakat dipihak lain. Di Pasangkayu, hampir semua distrik (kampung) di daerah ini dikuasai oleh DI/TII kecuali di Pasangkayu dan Bambaloka, yang mana keduanya ada pos TNI yang berjaga. Akibatnya, pada pertengahan September terjadi pengungsian besar-besaran yakni dari Kampung Masimbu, Tinagulli, Doda dan sebagian Bambaloka yang jumlahnya kurang lebih 1000 jiwa. Hampir seluruh Distrik Pasangkayu bersarang Momoc Merah dan Kuning dari anggota CP I yang diantara pemimpinnya ialah Opu Tasiodja, Nur Rasyid, dan Macompit alias A.G. Sakti.

Jumlah anggotanya ratusan orang dan mempunyai ratusan pucuk sejata api diantaranya 45 pucuk bren gunn. Didalam rombongan mereka juga terdapat dua orang berkulit putih (turis) yang berprofesi sebagai Dokter dan Pastor. Dari kabar yang ada, keduanya diculik di Palu dan Donggala dan dibawa ke Kampung Rondomayang, Pasangkayu. Dokter tersebut melakukan pengobatan dengan melakukan penyuntikan di penduduk kampung-kampung Randomayang dan sekitarnya, dan pastor tersebut bertindak sebagai guru dari anggota TII.

Delapan bulan berselang, tepatnya pada 13 Mei 1956, kesatuan TNI Ki. Frans dari Bambaloka melakukan penggempuran terhadap markas gerilyawan di Pangiang, Pasangkayu, sehingga terjadi kontak senjata yang lama yang membuat TII menjadi kocar-kacir dan mengundurkan diri. Akibatnya, tawanan seorang dokter bernama Urhman dan pastor bernama Jotten yang di culik di Palu dan Donggala pada September 1955 silam, dapat meloloskan diri. Gerilyawan TII di Pangiang itu dibawah pimpinan Opu Pasiodja. Pasca penyerangan ini, TNI kemudian menguasai daerah tersebut dan membakar rumah-rumah markas gerilyawan.

Pada tanggal 25, penggempuran markas TII juga dilakukan di Papalang oleh kesatuan pasukan TNI dari Bn. 714 dibawah pimpinan Ltd. Inf. L.G. Tumbuan dari Budong-Budong terhadap pasukan TII pimpinan A.G. Sakti di Papalang (yang sebelumnya berada di Pasangkayu). Gerilyawan TII tersebut berjumlah 70 orang lengkap dengan persenjataan mortir dan bren gun. Dari penggempuran itu, rumah-rumah masyarakat Papalang habis terbakar. Akibatnya, masyarakat tidak mengadakan hubungan dengan pemerintah melainkan menyingkir ke ladang-ladang sawah/kebun mereka yang tentunya tetap berada dalam kekuasaan TII.

Kekacauan juga terjadi di beberapa distrik bawahan Mamuju seperti Taludu dan Bambu (kecuali Karema dan sebagian Simboro). Lain halnya di Distrik Kalukku, seperti Ampallas, Lengke, Salutalawar yang terbilang aman atas kerjasama yang erat antara masyarakat dengan pemerintah dan TNI. Barulah kemudian pada pertengahan hingga akhir bulan Februari sampai tanggal 3 bulan Maret 1957, DI/TII melakukan serangkaian serangan ke kota Mamuju dan sekitarnya dengan mempergunakan mortir serta membakar rumah-rumah rakyat dimana pulau Mamuju juga telah dibakar yakni kampung Bumbulo, Bararoang dan Karampuang. Setelah penyerangan tersebut, para gerilyawan juga membakar rumah penduduk sebanyak 282 rumah. Selain melakukan penyerangan, para gerilyawan juga meracuni air leden penduduk dengan akar daun tuba.