Pada bulan April tahun 1955, satu batalyon (=1000 orang) pasukan TII yang dipimpin oleh Katjo (baca: Kaco) Tande sebagai Komandan Batalion III (Bn. III), Abitarang, mantan juru tulis Swaprja Tjenrana (Sendana) Majene sebagai Kepala Staf Umum, dan Solok, mantan Kepala Kepala Distrik Sendana sebagai Kepala Staf Urusan Sehari-hari, memasuki Daerah Kalukku. Batalyon ini membawahi empat kompi yang tersebar di Distrik Kalukku dan sebelah utara dari Distrik Bambu. Mereka mempunyai ratusan senjata api diantaranya belasan bren beserta peluru secukupnya.
Kemudian pada 19 November, pasukan TNI dari Batalion 716 (Bn. 716) dengan kekuatan satu kompi melakukan penggempuran terhadap gerilyawan TII yang berkedudukan di Kalukku tersebut. Pada tanggal 20, daerah Kalukku dapat dikuasai oleh TNI. TNI kemudian melakukan pengejaran kepada pasukan-pasukan gerilyawan TII tersebut yang mengundurkan diri ke Malunda untuk meminta bantuan dari DI/TII Bn. I pimpinan Sunusi. Tetapi karena adanya pos TNI di Tappalang, mereka (Bn. III) tidak dapat melanjutkan perjalanan hingga ke Malunda.
Untuk mencapai maksud mereka yakni ingin menerobos dan bergabung dengan Bn. I di Malunda, pasukan TII Bn. III kemudian melakukan kontak dengan Bn. I dengan mengirimkan perwakilan. Kontak antara kedua kesatuan tersebut ialah untuk membuat rencana penyerangan pos TNI di Tappalang sebelum lebih dahulu TNI menyerang pos Bn. I di Malunda. Pada 21 November, sekitar pukul 04.00 pagi, gerilyawan TII dengan kekuatan dua batalion (Bn. I dari Malunda dan Bn. III dari arah utara) dalam gerakan bersamaan melakukan serangan ke pos TNI.
Dari serangan tersebut membuat 16 orang TNI serta dua masyarakat sipil gugur. Sedangkan dari pihak TII, 100 orang tewas termasuk didalamnya puluhan rakyat aktif membantu gerilyawan TII dalam serangan tersebut. Diantara yang dikenali dalam gerilyawan tersebut ialah Sulemana, Kepala Distrik Dungkait dan Janggo, anggota gerilyawan. Setelah pertempuran tersebut, gerilyawan TII berhasil menduduki daerah Tappalang dan Malunda. Selain di Tappalang, TII dan TNI juga melakukan kontak senjata, tetapi TNI dapat memukul mundur pasukan TII, dan dari serangan tersebut, tidak ada kerugian materi maupun korban dari TNI maupun masyarakat.
Pada 23 dan 24 November 1955, TNI kemudian berturut-turut melakukan penggempuran terhadap basis-basis kedudukan TII disekitar Tappalang dan Malunda baik itu dari darat, laut dan udara. Dengan serangan tersebut, TNI berhasil manghancurkan kedudukan-kedudukan konsentrasi TII. Akibat dari penggempuran ini, banyak rumah-rumah penduduk terbakar diakibatkan serangan dari laut yang dilakukan oleh TNI. Korban jiwa dari penduduk tidak seberapa, karena sebelumnya penduduk telah banyak yang menyingkir ke daerah Mamuju. Tetapi Kepala Distrik Malunda tewas dalam serangan tersebut. Pasukan TII yang berhasil lolos kemudian melarikan diri ke bukit, gunung dan hutan-hutan disekitarnya. Setelah peristiwa tersebut, kurang lebih 700 jiwa penduduk Tappalang mengungsi ke Mamuju.
Pada bulan Desember, Komandan Sub. Sektor II RTP 24, Bn. Inf. 716 mengeluarkan instruksi lisan kepada Kepala Pemerintah Negeri (KPN) Mamuju bahwa berhubung peristiwa Tappalang pada bulan yang lalu, perlu diumumkan kepada penduduk bahwa daerah Tappalang dianggap daerah musuh. Oleh sebabnya, semua rakyat Tappalang yang pro kepada pemerintah harus mengungsi dan melaporkan diri kepada pihak yang berwajib di Mamuju. Dalam hubungan ini, penduduk Tappalang yang sudah mengungsi dan melaporkan diri di Mamuju telah berjumlah 442 jiwa. Tetapi masih banyak masyarakat Tappalang tidak mengindahkan himbauan militer dan pemerintah. Umumnya mereka belum megetahui instruksi tersebut dan kuat dugaan masyarakat mendapatkan tekanan dari pihak TII yang masih berada di Tappalang dengan ancaman tidak boleh mengungsi.
Menurut KPN Mamuju, bahwa sesuai dengan instruksi lisan dari TNI tersebut, maka diharapkan pula supaya pengumuman secara resmi dapat dilakukan dan penyebarannya menggunakan pesawat terbang. Sejalan dengan penyebaran pengumuman yang dimaksud, supaya kantor Sosial Kabupaten Mandar, Pemerintah Provinsi dan yang terkait, dapat menjamin rakyat yang akan mengungsi tersebut. Total penduduk yang mengungsi sekurang-kurangnya 6000 jiwa selama kurun waktu 3 sampai 6 bulan.