Bn. 710 Andi Selle dan Petaka Bagi Masyarakat Mandar

Dokumen Andi Amran MT. Rachmat
Dokumen Andi Amran MT. Rachmat

Pasukan DI/TII Kahar Muzakkar menguasai jalur paling pelosok dari Palopo ke Mamasa dan Mamuju, sementara Sunusi Tande berhasil menguasai kantong-kantong pertahanan MT. Rachmat. Rakyat benar-benar berada pada klimaks pergolakan. Di Mamasa, ribuan kaum kristiani dibantai jika tak ingin masuk Islam.

Mereka diburu dan dibunuh setiap saat. Bn. 710 Andi Selle di terus menyuplai amunisi ke hutan-hutan agar gerakan MT. Rachmat bisa dipatahkan. Dipihak pemerintah, S. Mengga yang saat itu bertugas di Parepare membangun kerjasama dengan Baharuddin Lopa (Bupati Majene) untuk menghalau gerakan DI/TII dan Bn. 710. MT. Rahmat dan pasukannya juga disuplai logistik dan persenjataan untuk melindungi rakyat Mandar yang tertindas.

Zaman pergolakan betul-betul sampai pada puncak yang begitu menyiksa rakyat sipil. Ribuan orang-orang Mamuju harus diungsikan ke Ujung Lero dan Parepare, termasuk sebagian melarikan diri mencari selamat ke pulau-pulau perairan Jawa dan Kalimantan. Selebihnya mereka bergabung dalam perlindungan pasukan MT. Rachmat.

Warga kampung yang tak pro dengan DI/TII dan Bn. 710 di bakar. Inilah peristiwa yang paling berkesan bagi Baharuddin Lopa sehingga dalam sejarah hidupnya, ia kadang menangis jika mendengarkan bait lagu Wattu Tallo’be’na, ciptaan Mas’ud Abdullah yang dipopulerkan oleh Mety Baan. Lagu itu menjadi trauma tersendiri bagi siapa saja yang hidup pada dekade 1955-1965.

Seperti diketahui, secara de facto dan de jure, sejak bulan Januari 1952 Kahar Muzakkar bersama Kasso Abdul Gani mendeklarasikan Sulawesi Selatan menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia pimpinan Kartosuwirjo di Jawa Barat. Kartosuwirjo selanjutnya menunjuk Kahar sebagai panglima TII di Sulawesi.

Beberapa Komandan ex-CTN tidak mau bergabung ke TII-nya Kahar a.l: Andi Selle (Pinrang/Polewali),  Andi Sose’(Enrekang/Tator), M. Daeng Sibali (Takalar). Namun pada saat Kahar Muzakkar dioperasi militer oleh TNI, Andi Sose dan Andi Selle sikapnya abu-abu karena menurut laporan intel militer kedua komandan pasukan ini memberi bantuan senjata dan amunisi kepada pasukan Kahar Muzakkar secara diam-diam (Albert, 2015).

Sejak saat itu mulailah pasukan DI/TII menekan kehidupan rakyat Mamasa, Tator, Galumpang, Polewali dan Seko. Banyak orang Kristen dan penganut aluk todolo/mappurondo dipaksa masuk Islam seperti di daerah Sabura’, daerah Batu-Pappandangan, Polewali, Kalosi-Losi, Kurrak, Ulumanda’, Daerah Suppiran dan beberapa kampung lainnya.

Rakyat di daerah tersebut  selalu kontak dengan DI/TII karena daerahnya merupakan jalur operasi DI/TII. Jalur-jalur operasi DI/TII di sekitar Tator, Enrekang, Pinrang, Mamasa, Majene dan Mamuju antara lain : (1) Palopo – Seko – Mangki – Mamuju; (2) Mamuju–Aralle–Mambi-Matangnga–Riso–Polewali–Pinrang; (3) Mamuju – Aralle – Mambi – Matangnga – Polewali – Pinrang; (4) Mamuju–Aralle–Mambi–Matangnga–Sumarorong–Messawa–Suppiran– Pinrang; (5) Enrekang –Bau – Simbuang – Suppiran – Rayan – Pinrang; (6) Riso – Messawa – Simbuang – Bau – Enrekang; dan (7) Majene–Ulumanda’–Aralle–Mambi–Matangnga–Messawa–Suppiran– Enrekang.

Akibat gangguan pemberontakan DI/TII maka pemerintah RI memberlakukan SOB (Staat van Orlog Beleg) yaitu masa keadaan darurat perang. Untuk mengamankan Sulawesi Selatan, pemerintah pusat mendatangkan pasukan dari Jawa antara lain dari Batalyon 422/Diponegoro, Batalyon Poncowati, Pasukan Badak Hitam dari Aceh, Pasukan Tengkorak Putih  dari Batalyon Siliwangi dan Batalyon Bukit Barisan.

Di wilayah Komando Daerah Teritorium VII (Kodam yang kemudian berubah menjadi Kodam XIV/Hasanuddin, lalu kembali menjadi Kodam VII/Wirabuana) ditempatkan Pasukan TNI antara lain Batalyon 710 dipimpin Andi Selle Mattola dengan wilayah Korem Pinrang, Polewali, Majene dan Mamuju.

Batalyon 720 dipimpin Andi Sose dengan wilayah Korem Tator, Luwu dan Enrekang. Selanjutnya kedua Komandan Batalyon ini sangat berpengaruh dalam sejarah perjuangan rakyat Mamasa dan Tator antara tahun 1952 sampai dengan tahun 1964.