Oleh: Muliadi Saleh
Di antara denyut pembangunan yang kian cepat, di sela deru mesin dan teknologi yang terus melaju, ada satu institusi yang kerap terlewat dalam percakapan besar kita tentang masa depan bangsa: Balai Latihan Kerja (BLK).
Ia hadir nyaris di setiap kota, berdiri di pinggiran atau tersembunyi di balik lorong-lorong birokrasi. Tak banyak yang menoleh, tak sering pula dibicarakan. Tapi di sanalah, sesungguhnya harapan itu bertunas—tentang anak-anak muda yang ingin memiliki keterampilan, tentang pekerja yang ingin bangkit kembali, tentang generasi yang ingin berdiri di atas kaki sendiri.
BLK bukanlah sekadar gedung. Ia adalah pintu masuk menuju keahlian, ruang tempat tangan-tangan kosong dilatih agar terampil, tempat pikiran-pikiran muda dipenuhi semangat untuk berbuat, berkarya, dan berdikari.
Hakekat keberadaannya menciptakan manusia siap kerja, manusia yang bukan hanya mengerti teori. Tetapi mampu menghidupkan mesin, mengolah kayu, menjahit busana, merakit komputer, merawat mesin, atau bahkan memulai usaha kecil.
Namun mari kita jujur: sebagian besar BLK kita hari ini bagai perahu tua yang kehilangan arah angin. Kondisinya banyak yang stagnan, alat-alatnya usang, modul pelatihannya belum selalu terkini, dan relasinya dengan dunia kerja masih longgar. Banyak lulusan BLK yang keluar hanya dengan sertifikat, tapi belum punya keahlian yang benar-benar dibutuhkan pasar.
Padahal dunia kerja saat ini sedang berubah cepat—otomasi, digitalisasi, transformasi industri—menuntut kita untuk bukan hanya bisa bekerja, tapi mampu bersaing.
Apakah BLK masih relevan? Jawabannya: sangat relevan—tapi hanya jika ia dibenahi dan direvitalisasi secara sungguh-sungguh. Dunia kerja kita butuh SDM terampil lebih dari sekadar lulusan universitas.
Dunia kerja butuh tukang las yang teliti, mekanik yang cakap, barista yang kreatif, desainer grafis yang cekatan, dan petani modern yang melek teknologi. Dan, BLK bisa menjadi ruang tumbuhnya keterampilan itu—jika ia diberi ruh baru.
Maka, pertanyaannya bukan lagi “perlu atau tidak”, melainkan: bagaimana kita menghidupkan kembali BLK sebagai mesin pencetak manusia unggul?
Revitalisasi BLK harus dimulai dari pemahaman bahwa pelatihan vokasi bukan alternatif kelas dua, tetapi jalur cepat menuju kemandirian ekonomi. Pemerintah pusat dan daerah harus turun tangan dengan visi besar, bukan sekadar rutinitas administrasi. BLK perlu:
– Diperbarui fasilitasnya—mesin, komputer, alat praktek harus sesuai standar industri terkini.
– Dikoneksikan dengan dunia usaha—agar kurikulum disusun bersama industri dan hasilnya langsung bisa diserap.
– Ditingkatkan kualitas instruktur—karena keterampilan hanya bisa ditularkan dari mereka yang benar-benar ahli dan punya pengalaman nyata.
– Dibuka untuk inovasi program pelatihan—seperti kewirausahaan digital, pengelolaan energi terbarukan, atau teknologi pertanian presisi.
Dijadikan pusat komunitas produktif—bukan hanya tempat belajar, tapi tempat bertumbuh, berkarya, bahkan memulai usaha bersama.
Pemerintah daerah memegang kunci penting. Mereka paling tahu potensi ekonomi lokal. BLK yang berdiri di Sulawesi Barat, misalnya, seharusnya punya pelatihan khusus pengolahan hasil laut yang kualitasnya bersaing di tingkat nasional bahkan internasional atau produk agribisni eksport lainnya semisal kopi dan kakao.
Di Nusa Tenggara Timur, bisa fokus pada tenun, peternakan atau wisata ekowisata. Dengan begitu, BLK menjadi lembaga yang kontekstual, hidup, dan menyatu dengan denyut ekonomi masyarakatnya.
Lebih jauh lagi, BLK juga harus menjadi bagian dari sistem besar pembangunan manusia Indonesia. Pemerintah perlu mengintegrasikan BLK ke dalam strategi makro pengentasan pengangguran, pengurangan kemiskinan, dan pertumbuhan UMKM. Di sinilah BLK bukan sekadar institusi pelatihan, tetapi alat transformasi sosial-ekonomi.
“Negara yang kuat bukan negara yang hanya punya insinyur dan birokrat, tapi negara yang rakyatnya bisa bekerja, berkarya, dan mencipta dari keterampilan dan kecerdasan pikirannya,”
kata Bung Hatta, suatu waktu.
BLK seharusnya menjadi pengejawantahan dari cita-cita itu. Ia bukan sekadar pelengkap pembangunan, tapi bagian dari jantung pembangunan. Tempat lahirnya teknisi unggul, pengrajin mandiri, inovator lokal, dan pelaku usaha tangguh.
Menyalakan Bara Menjadi Nyala Skill
Masa depan Indonesia tidak hanya dibangun oleh gedung pencakar langit, tetapi juga oleh tangan-tangan terampil yang bekerja jujur. Maka BLK bukan hanya fasilitas, tapi fajar harapan. Tugas kita adalah menyalakan kembali bara itu, mengubahnya menjadi nyala keterampilan yang tak padam.
Di tiap palu yang diayun, di tiap kabel yang disambung, di tiap kain yang dijahit, dan di tiap gagasan usaha yang dirintis—di sanalah kita melihat Indonesia sedang bertumbuh.
Dimulai dari bengkel-bengkel kecil, dari ruang pelatihan yang sederhana, dari niat untuk mandiri. BLK adalah panggung sunyi tempat peradaban itu dilatih.
Wallahu A’lamu Bissawaab. (*)
-Moel’S@15042025-