Bagian 6: Melayari Jejak Lampau dari Makam Todilaling

Todilaling Versi Laboratorium Sejarah UNHAS

Penggunaan ada’/adat (hukum) mati atau ada’ Balatau  di Balanipa awalnya disaksikan langsung oleh I Mayambungi dilukiskan dalam lontar sebagai berikut:

Inilah kebiasaan orang Balanipa yang dijumpai Todilaling ketika Balanipa belum memiliki ada’ (hukum). Apabila seorang laki-laki berselisih dengan sesamanya laki-laki, Tomakaka’ di Napo duduk menyaksikannya. Kedua laki-laki yang berselisih itu disuruh dimasukkan kedalam bala batu (kandang batu). Keduanya bersetumpuh di dalam lalu bertikaman.

Tomakaka’ menyaksikannya, siapa yang lebih dahulu luka dialah yang kalah, kemudian keduanya dipisahkan. Kalau keduanya sudah saling melukai dan salah satunya tewas, maka dialah yang salah. Mayatnya digulingkan masuk ke dalam jurang. Biasanya mereka hanya sekali saja berkesempatan saling menikam lalu keduanya dipisahkan.

Demikian juga apabila wanita berselisih dengan wanita, maka tindakan Tomakaka’ disuruhnya seseorang menanak air. Ketika air itu sudah mendidih, maka disuruhlah kedua wanita yang sedang berselisih itu memasukkan tangannya ke dalam air yang sedang mendidih itu. Siapa yang lebih dahulu menarik tangannya dari air panas maka dialah yang dinyatakan bersalah. Begitulah kebiasaan orang Balanipa yang dijumpai Todilaling.

Kondisi terkini Makam Todilaling Desa Napo (Oktober 2022)

Belum terlalu lama I Manyambungi membentuk pemerintahan di kerajaan Balanipa, ia ditinggal oleh istirinya, Karaeng Surya menghadap tuhan yang maha kuasa. Beliau menikah lagi dengan sepupunya, anak dari Puang Dipoyosang.

Dari perkawinan ini lahir tiga orang anak, satu laki-laki bernama Todijalllo’, dan dua orang perempuan. Todijallo’ adalah orang yang pertama kali diangkat menduduki jabatan Mara’dia Malolo (panglima perang) pada masa pemerintahan saudaranya, yaitu Tomepayung.

I Manyambungi mangkat setelah meletakkan dasar-dasar hukum dan tata kelola pemerintahan di Balanipa. Ia digantikan oleh putranya dari istri yang berasal dari Kerajaan Gowa yang bernama Tomepayung untuk menjadi raja Balanipa ke-2. Tomepayung termasuk cucu Karaeng ri Gowa, Tumapparissi Kallonna, yaitu anak dari Karaeng Sanra Bone yang bernama I Suria.

Tiga saudaranya yang lain masing-masing kawin dengan nae di Todza-Todzang, satu bersuami ke Alu yang kemudian berkembang ke Limbua’ dan satu lagi kawin ke Banggae yang kelak berkembang di Tande. Tomepayung dan Todijallo’ membesarkan Kerajaan Balanipa setelah beberapa komunitas-komunitas masyarakat disekitarnya ditaklukkan menjadi wilayah kekuasaannya. Tomepayung juga yang pertama kali dipayungi (payung sebelah) sebagai raja Balanipa dari Karaeng Gowa sewaktu ia membantu berperang di Bima Nusa Tenggara Barat (NTB).

Tomepayung mengendalikan kerajaan Balanipa dibantu oleh saudaranya Todijallo dari lain ibu. Berbagai upaya dilakukan untuk memperkuat posisi kerajaan Balanipa, termasuk mengagalang beberapa kerajaan lainnya untuk membentuk persekutuan negara konfederasi Mandar yang lebih popular dengan sebutan pitu ba’bana binanga. Ia meletakkan dasar politik kerajaan Balanipa yang kuat sampai akhirnya beliau meninggal dunia dan digantikan oleh adiknya, Todijallo’ (Darmansyah dan Muhammad Munir, 2017).

(BERSAMBUNG)