Makanya ketika Raja Gowa yang ke-9 ini hendak dilantik, dikalangan keluarga bangsawan Gowa ada yang menolak, yaitu Tomanurung ri Gowa dengan alasan bahwa Daeng Matendre Karaeng Manguntungi, Tomaparisi’ Kallona adalah anak I Rerasi, berarti ana’ cera tidak pantas untuk menjadi raja Gowa.
I Rerasi dianggap sebagai seorang budak belian dari tanah Mandar. Namun setelah diselidiki ternyata beliau adalah anak Tomakaka Napo dari Botting Langi yang kelak menjadi raja Bone pertama yang bergelar mata Silompoe Manurungnge ri Matajang. Berarti I Rerasi-lah yang kemudian menurunkan raja-raja Gowa kemudian, I Tabittoeng yang menurunkan raja-raja di Balanipa Mandar dan Lapalangki Arung Palakka yang menurunkan raja-raja Bone.
Pelantikan Daeng Matenre Karaeng Manguntungi Tomapa’risi Kallona menjadi raja Gowa yang ke-9 mendapat penolakan keras dari sepupunya, Tomanurung ri Gowa, karena ketidak setujuannya itu maka ia melakukan perantauan di tahun 1500 dan tiba di Kerajaan Baras dan menikah dengan wanita bangsawan Mandar yang bergelar Tomanurung di Baras.
Dari perkawinan ini lahir tiga orang putra, yaitu: (1) Batara Manurung, yang menjadi raja Banawa Kaeli di Sulawesi Tengah, (2) Todipali, yang menjadi raja Mamuju, (3) Tomessawe di Mangiwang, menjadi raja Sendana.
Peristiwa ini terjadi disekitar tahun 1540. Disini terbukti bahwa Kerajaan Banawa Kaeli dan kerajaan-kerajaan yang ada di Pitu Ba’bana Binanga (Sendana dan Mamuju) pernah diperintah oleh dua bersaudara.
Awal kedatangan I Manyambungi di Gowa, bertepatan pada masa pemerintahan Karaeng Batara Gowa raja VII yang waktu itu permaisuri kerajaan Gowa adalah orang Mandar/Napo, I Rerasi, anak dari Tomakaka’ Lemo dari istri Botting Langi dari Bone.
Kehadiran I Manyambungi ke Gowa, juga dilatar belakangi oleh hubungan perdagangan antara Kerajaan Gowa dengan Tomakaka’ Napo yang terjalin sejak lama. I Manyambungi menginjakkan kakinya ke Gowa pada usia yang masih sangat anak-anak. Alasan I Manyambungi ke Butta Gowa, sebagai pengasingan atas hukuman yang dijatuhkan Tomakaka’ Appe’ Banua Kayyang setelah membunuh sepupunya sendiri.
I Manyambungi sebagai Panglima Perang di Kerajaan Gowa sangat disegani dan banyak negeri yang ditaklukkan, termasuk menaklukkan Kerajaan Lohe’, Kerajaan Pariaman (Sumatera) yang termasuk kerajaan terkuat pada masa itu.
Gong dari Lohe (Ta’bi Lohe) dan Keris Pattarapang dari Pariaman menjadi medali kemenangan yang diberikan oleh Daeng Matenre’ pada I Manyambungi. Keahlian I Manyambungi dalam menaklukkan musuhnya terdengar sampai ke tanah Mandar.
Pada masa yang sama di tanah Mandar terjadi perseteruan antara Appe’ Banua Kayyang dengan Passokkorang (Biring Lembang, Renggeang, Manu-manukan, dan Salarri’). Para Tomakaka’ dari Appe Banua Kayyang sepakat mengutus Pappuangang di Mosso untuk menjemput I Manyambungi di Gowa. Dengan harapan nama besar I Manyambungi dapat membantu Appe’ Banua Kayyang untuk menaklukkan Passokkorang.
Akhirnya I Manyambungi bersama keluarganya, Karaeng Surya, istiri dan beberapa pengawal setianya meninggalkan Gowa menuju Napo.
Masyarakat Napo termasuk Puang Di Gandang, menyambut kedatangan rombongan I Manyambungi di Labuang Soreang. Inilah awal disandangnya gelar Todzilaling (orang yang di bawa pulang) pada diri I Manyambungi.
Ada juga pendapat lain bahwa gelaran Todilaling disandang oleh I Manyambungi setelah beliau meninggal, karena banyak harta bendanya bersama dengan 14 orang dayang-dayangnya (pengawal setianya), 7 orang laki-laki dan 7 orang perempuan ditimbun bersama disaat I Manyambungi dimakamkan.
Dengan kehadiran I Manyambungi, Appe’ Banua Kayyang menyatukan diri menjadi sebuah kerajaan yang diberi nama Balanipa. Wilayah Balanipa sendiri terdiri dari Napo, Mosso, Samasundu dan Todza-Todzang dan mereka sepakat untuk mengangkat I Manyambungi menjadi raja pertama di Balanipa.
Sebagai mara’dia, I Manyambungi dibantu Puang Dipoyosang serta Puatta di Saragiang, turunan dari Tokanaca. Raja Alu menyusun strategi untuk menaklukkan Passokkorang di bawah kepemimpinan Takala’ Bassi atau Topanggere’ Tau. Puatta di Saragiang sendiri dibantu oleh Puatta di Bulo, turunan dari Toajoang.
Siasat yang dilancarkan I Manyambungi dengan mengutus Puatta di Sarangiang bersama Puatta di Bulo menyusup ke Passokkorang, ternyata berhasil membantu pasukan Balanipa yang akhirnya berhasil memukul mundur Passokkorang. Passokkorang mengakui kekuasaan Balanipa melalui permintaan perdamaian seusai terjadinya perang.
Kerajaan Balanipa mulai mengalami pembenahan birokrasi setelah I Manyambungi mengutus keponakan Puang Dipoyosang untuk melakukan pendidikan dan pendalaman adat atau konstitusi pada kerajaan Gowa. Hukum konstitusi atau adat di kerajaan Gowa yang ditulis dalam bentuk lontar tersebut untuk selanjutnya menghapus adat lama yang ada di kerajaan Balanipa. Hukum adat dan tata pemerintahan kerajaan itulah yang banyak mempengaruhi kemajuan pada komunitas-komunitas lainnya di di Mandar.
Balabatu atau Balatau (pagar batu), sebuah sistim peradilan yang masih menggunakan hukum rimba (siapa yang kuat itulah pemenang).
Penghapusan aturan lama ini menandai berlakunya konstitusi baru yang menjadi pedoman dan sumber inspirasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Balanipa dan beberapa kerajaan di Mandar.