Kerajaan Balanipa
Balanipa adalah sebuah kerajaan yang ada di pesisir Sulawesi Barat dan mencapai puncak kemajuan pada tahun 1600-an. Balanipa merupakan kerajaan yang dibentuk berdasarkan kesepakatan Hadat Appe’ Banua Kayyang setelah sebelumnya menjemput I Manyambungi atau Todilaling yang menjadi Panglima Perang di Gowa Makassar.
Dalam beberapa cerita tutur sebagaimana Ahmad Asdy menjelaskan bahwa pada sekitar abad ke-13 dan abad ke-14, di sebuah tempat yang belum bernama, seorang wanita cantik yang bernama I Nipa. Ia adalah putri dari Tomakaka’ yang bergelar Tomakaka’ Nipa yang kawin dengan Tomakaka’ Napo lalu menetap disebuah tempat yang kemudian dinamai Tammajarra.
Di tempat inilah mereka menetap dan membina rumah tangga, bekerja untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Mereka juga mengambil inisiatif untuk menggali sebuah sumur yang berada di ketinggian dan dibawahnya terdapat lembang (sungai kecil) yang airnya mengalir cukup deras di musim hujan tapi kering pada saat musim kemarau.
Kondisi tersebut menjadi alasan sepasang suami istri ini sepakat untuk membuat sumur sebagai upaya mengantisipasi kekurangan air pada musim kemarau. Dan benar saja, sumur yang digali tersebut airnya tidak pernah mengering meski kemarau melanda. Oleh warga, sumur ini diberi nama Passauang Nipa (sumur nipa) yang terinspirasi dari sebuah penghormatan kepada “I Nipa”.
Sumur tersebut secara turun temurun dijadikan sumber air minum dan tempat mandi bagi Tomakaka’ dan keluarganya. Sejak dahulu hingga sekarang, sumur ini masih menjadi satu-satunya tempat mengambil air minum jika musim kemarau tiba.
Nukilan cerita diatas adalah salah satu dari banyaknya sumber yang layak dipercaya karna selain dilisan tuliskan oleh beberapa penulis, sejarawan, budayawan juga masih didukung oleh bukti-bukti yang otentik.
Sumber lain juga ada yang menerangkan bahwa nama Balanipa diadopsi dari sebuah artefak dan fakta-fakta sejarah, bahwa pada zaman sebelum adanya Mara’dia, aturan yang diterapkan adalah hukum rimba yang lebih mengedepankan kekuatan otot, keberanian dan kesaktian yang dimiliki sebagai syarat mutlak untuk menjadi penguasa pada saat itu.
Tentu yang kuat, berani dan saktilah yang akan selalu berada pada pihak yang benar, sementara yang lemah, takut dan tidak mempunyai kesaktian akan menjadi pihak yang selalu salah dan menjadi korban penerapan hukum rimba ini berawal dari dua orang bersaudara yang tidak diketahui asal-usulnya tetapi memiliki kesaktian yang luar biasa. Sejarah mengenalnya sebagai Tomakaka’ Tambura (orang kuat dan sakti) yang datang mengacau dan membuat rusuh dimana-mana.
Dia menantang semua jago-jago yang ada untuk berduel karena keberanian dan kesaktiannya itulah sehingga kemudian bisa berkuasa dan memerintah menurut apa yang dikehendakinya. Tomakaka’ Tambura ini kemudian terbunuh oleh I Manyambungi. Dengan keberhasilan I Manyambungi mengalahkan Tomakaka’ Tambura inilah kemudian I Manyambungi dinobatkan menjadi Mara’dia Balanipa pertama yang diberi gelar “Todilaling”.
Konon ceritanya; batang pohon palem/palma (nipa) yang dijadikan kandang tempat bertarung antar manusia laki-laki untuk menyelesaikan sengketa-membuktikan dirinya apa bersalah atau tidak. Sebuah peradilan yang menganut hukum rimba, siapa yang kuat itulah pemenangnya.