Rakyat menilai bahwa peristiwa itu merupakan perbuatan tercela dan melanggar adat yang pelakunya harus di patei (dibunuh) atau di pali’ Walaupun kakeknya adalah seorang tomakaka’ yang disegani, tapi kehendak orang banyak harus dilaksanakan. Tomakaka’ Mosso yang menyaksikan peristiwa tersebut menilai bahwa hal itu terjadi karena penghinaan yang dilontarkan oleh sepupunya (korban).
Hinaan itu berupa perkataan yang menyatakan bahwa Todilaling adalah anak haram yang lahir di hutan. Itulah makanya, Todilaling harus dikirim ke Gowa sebagai bentuk hukuman atas perbutannnya.
Sumber lain menyebutkan bahwa Todilaling adalah sosok yang memiliki sifat yang selalu ingin tahu, bebas dan ingin mendapat pengalaman yang lebih luas membawa Todilaling nekat untuk naik perahu orang Makassar yang sedang berlabuh di Pelabuhan Balanipa dengan cara bersembunyi di ruang barang, sementara perahu sedang berlayar tanpa diketahui oleh siapapun, tiba-tiba Todilaling muncul di geladak dan mengagetkan semua awak perahu. Setelah ditanya, nakhoda memutuskan untuk mengembalikan Todilaling ke Balanipa.
Namun keputusan itu ditolak oleh Todilaling terlebih jarak tempuh perahu sudah sangat jauh berlayar dari Balanipa (Darmawan Mas’ud Rahman, 2015).
Kompleks Makam Todilaling tahun ini mendapat perhatian khusus dari pemerintah provinsi yang membuat akses ke makam semakin mudah sebab ditengah tangga menuju makam dipasangi pegangan untuk membantu para pengunjung menaiki puncak makam.
Areal makam juga diperluas sehingga membuat pengunjung semakin lulasa dan nyaman saat berziarah. Saat rombongan masih meniti anak tangga, hujan seakan menyambutnya. Di Area makam, pengunjung sudah tidak ada, kecuali penjaga makam. Pengunjung terakhir sempat berpapasan dengan tim waktu mulai mau menanjak menuju tangga.
Seperti biasa, para pengunjung membawa serta barakka’ dan aneka makanan khas yang selain dimakan bersma juga disediakan menu khusus untuk ditinggalkan bagi penjaga makam.
Hari ini, pengunjung agak ramai. Itu terlihat dari setumpuk makanan khas yang disuguhkan oleh penjaga makam menjadi jamuan khusus dan istimewa bagi tim. Diringi hujan yang kian lebat, rombingan terlihat menikmati sajian makanan itu. Tentu saja bukan karena lapar sebab sebelum ke lokasi juga sudah dijamu special oleh keluarga Pak Supriadi.
Tapi lebih kepada pertimbangan aneka makanan yang unik dan pasti tidak mudah ditemukan menu yang sama di daerahnya. Terutama juga cara ahlul bait makam Todilaling yang menjamu rombongan dengan ikhlas, penuh cinta. Itu terlihat dari bahasa tubuh dan mimik mukanya. Ibu itu ramah dan santun serta welas asih. Itulah tabiat asli orang Napo. Negeri Para Puang.
Wajar jika kemudian ada peribahasa mengatakan “Nadaia di Napo, Maindang Kedo Puang. Naupakei lao melimbo-limbo”. Demikian kesan kami sebagai tim terhadap kesejatian yang dimiliki oleh To Napo, Tonapolei Ada’ Pole onro, Odi Ada’ Odi Beasa.