Oleh : Nurliah Nuhun
[otw_shortcode_dropcap label=”A” font=”Alike Angular” color_class=”otw-black-text” background_color_class=”otw-red-background” size=”large” border_color_class=”otw-no-border-color” shadow=”shadow” square=”square”][/otw_shortcode_dropcap]gustus tiba, tiang-tiang akan didirikan. Di kampung-kampung, pancang akan digantikan bambu panjang yang dipasang di depan rumah, itu artinya bendera bakal dikibarkan. Merah putih siap menggelorakan keberanian dan kesuciannya di seantero Indonesia.
17 Agustus, adalah hari kemerdekaan bangsa tercinta, anak, muda-mudi, dewasa, orang tua. Lebih-lebih lanjut usia yang benar merasakan pelik perjuangan untuk bisa mengibarkan Sang Saka Merah Putih tanpa ancaman, merdeka semerdeka mungkin akan bersuka ria menyambut kedatangan agustus, dengan berbagai pesta meriah ataupun kecil. Cerita-cerita sejarah dan senjata akan mudah dituturkan oleh para tetua, anak-anak akan dengan semangat mendengar, membayangkan seperti sedang menyaksikan film peperangan.
Tetapi kini, COVID-19, yang lebih nyaman dipanggil Corona, sesekali Coroncesss. Datang seperti bala penjajah yang melarang kami berpesta ria merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia. Kita menjelma tawanan penjajah, bergerak sedikit saja dan tiba-tiba lengah..shurrrttttt! Virus akan menembakkan diri dalam tubuh.
Bendera-bendera hanya sedikit yang terpasang, mungkin karena pesta tak akan ada, maka Bapak tak perlu melelahkan diri mencat pagar-pagar bambu rumah. Ibu juga tak perlu menata halaman rumah seasri mungkin, toh hari-hari Agustus akan tetap sepi, tetap terasa seperti bulan sebelumnya, Nothing Is Special.
Di Agustus kali ini, kita tak lagi melihat anak-anak meski sekedar diminta Ibunya untuk membeli minyak di warung tetangga ia akan tetap mengumandangkan aba-aba “Langkah Tegak Maju Jalan!” Sampai harus balik ke rumah karena lupa apa yang akan dibeli, sebab terlalu fokus pada aba-aba yang diperintahkan sendiri. Tidak ada lagi langkah sigap yang tak lupa menyisipkan hormat kanan. Agustus benar-benar kehilangan rohnya.
Jika Agustus sebelumnya, kerap kita menertawai atau bahkan dibingungkan dengan tingkah konyol segerombol anak-anak yang lewat di depan rumah dengan hentakan kaki keras karena terlalu hobi “Gerak Jalan”, belum lagi lagu-lagu nasional yang mereka nyanyikan dengan kompak tanpa mengenal waktu istirahat atau bukan, “17 Agustus”, “Maju Tak Gentar”, “Tanah Airku”, “Syukur.” Tetapi kini, rasa rindu itu akan mulai terasa, demikianlah yang di maksud “dekat bilang benci, jauh bilang rindu”. Kini kita dijauhkan dari keributan anak-anak menyambut hari kemerdekaan dan pada akhirnya kita rindu
Agustus kini benar-benar sepi.
Corona tak memberi ampun, begitu kerasnya ia tak mengizinkan anak-anak merasakan kemeriahan, kegembiraan. Anak-anak penari tak lagi dipoles cantik dengan pakaian adat, kecantikan mereka harus disembunyikan di balik masker. Tenda-tenda Pramuka pun ikut di gulung, tak ada pesta api unggun.
Kini para Ibu tak akan lagi memarahi anaknya karena diam-diam mengambil nampang dari dapur untuk dijadikan pengganti gendang qasidahan, tak lagi menjadikan ranjang sebagai panggung pementasan seni. Pun ibu tak perlu marah karena menyayangkan suara anaknya yang dengan lantang membacakan puisi AKU karya penyair besar Chairil Anwar.
Dan bapak-bapak tak perlu merajuk sebab istri yang lupa memasak akibat terlalu keasyikan main voli atau sedang berlomba tarik tambang. Mereka tak perlu marah pada istri yang akan lebih banyak menghabiskan waktu di lapangan daripada di rumah.
Jarak tak pernah terbentang, tetapi rindu kian hari kian menumpuk. Corona datang meredupkan semangat bercerita nenek pada cuci, corona mematikan speaker-speaker besar panggung tujuh belasan, corona memadamkan api semangat siswa. Corona seperti menjatuhkan kelereng di sendok kecil, mengecewakan.
Seperti nenek dan kakek 75 tahun lalu, hari ini kita harus sembunyi, Corona mengintai, kapanpun saja ketika kita lengah dengan mudahnya ia akan menembakkan racunnya di tubuh kita. Tolong, jangan lengah Agustus depan jika berkat dan barokah itu datang, kita akan berjumpa di depan panggung pentas seni, kita akan jumpa di barisan gerak jalan, kita akan berapi unggun bersama dan kita akan menyaksikan kakak-kakak Paskibraka yang gagah dan cantik, kita akan bermimpi agar kelak bisa seperti mereka. (*)
Foto : tekape.co