Di tengah percakapan, ia terdiam sejenak. Menikmati lagu “Gereja Tua” karya Benny Panjaitan yang terdengar melalui Speaker warung kopi, lengkap dengan suasana petang yang terlihat semakin pekat— ini membawanya pada nostalgia yang semakin dalam. Ia menaruh puntung rokok di asbak berbentuk daun yang terbuat dari tanah liat, memastikan apinya mati, lalu mengatakan, “ Yang ku pahami, hidup itu adalah anugerah. Tidak semua orang diberikan kesempatan merasakan kehidupan, dan saya merasa beruntung, berada diantara orang-orang yang diberi kesempatan itu ”.
Ia adalah anak ke dua dari empat bersaudara. Kedua adiknya masih kecil saat ibu dan ayahnya memutuskan untuk merantau ke sebuah desa kecil di Palu— Olu, Kecamatan Lindu, untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Sejak SMA kelas dua belas ia hanya tinggal berdua dengan kakaknya. Sementara kedua adik nya ikut dengan orang tuanya di Palu.
Sedikit serius, ia mengatakan bahwa keluarga, terutama kedua orang tuanya adalah spirit besar mengapa ia bisa bertahan sejauh ini. “ya, karena pria sejati adalah pria yang menghabiskan banyak waktu dengan keluarganya” ungkapnya sambil mengambil rokok dan membakarnya dengan cepat.
Waktu yang ia maksud bukanlah waktu dengan perhitungan matematik, melainkan bagaimana kita mengingat, dan menjadikan kedua orang tua sebagai prioritas utama. Meski begitu, kita tak cukup jika hanya sekedar mengingat, tanda bakti banyak ragamnya, dan setiap orang punya caranya masing-masing.
Bahkan soal komunikasi, ia hanya dapat telponan satu atau dua kali dalam setahun. Ini karena letak tempat tinggal orang tuanya yang minim jaringan—hanya di tempat-tempat tertentu. Pernah, ia merasakan rindu yang kian dahsat. Enam tahun lamanya (antara tahun 2013-2019) ia tak pernah pulang ke kampung halamannya. Meski berkali-kali pula pada banyak orang ia mengatakan, “Mudik?, lemah!”. Padahal dalam dadanya gemuruh kerinduan itu tercipta kian besarnya.
Awalnya ia tidak pulang karena persoalan ekonomi yang sedang tidak bersahabat, namun tahun-tahun selanjutnya ia merasa bahwa Jogja telah memberinya ruang yang layak untuk berproses. Ia memang terlihat sangat begitu tegar soal yang satu ini, meski sebetulnya tidak. Perjalanan spiritualnyalah yang berhasil mendewasakan. Hal itu terlihat setiap kali saya ngobrol dengannya. Setidaknya ia lebih tenang dan khusuk saat merokok. Setiap kali menghisap rokok, ia selalu memandangi asapnya. Entahlah saya tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan. (Lanjut Halaman 3)