Wonomulyo: Dari Koloni Mapilli ke Fase Jelang 100 Tahun

oleh
oleh
Foto: Google Map Juli 2019 (atas) dan Foto koleksi H. Mekka di Wonomulyo.

MANDARNESIA.COM, Wonomulyo — “Pada dasarnya warga Wonomulyo Kappung Jawa itu komunitas yang sangat adaptif. Selain peran pemerintah melalui regulasi, sumber daya sosialnya cenderung mudah diarahkan. Ketika ada anjuran untuk siskamling misalnya, mereka pun antusias.” Kata Bahrun Sahibuddin warga senior Wonomulyo kepada mandarnesia.com Selasa, (2/12/2025) 

Wonomulyo yang dikenal luas sebagai kawasan kolonisasi Mapilli, telah mengalami transformasi sosial dan ekonomi yang signifikan dalam beberapa dekade terakhir. Dari permukiman terencana yang damai, kawasan ini berkembang menjadi simpul ekonomi yang dinamis, membawa serta kemajuan dan tantangan baru bagi masyarakatnya.

Berdasarkan catatan sejarah dari buku Kampung Jawa di Tanah Mandar (Adi Arwan, 2019), Wonomulyo dibuka oleh pemerintah kolonial secara resmi berdiri pada 1 September 1937. Seperti makna namanya, “Wonomoeljo” atau “hutan mulia”. Wilayah ini awalnya dibangun sebagai daerah kolonisasi bagi pendatang dari Jawa. Karakteristiknya yang tertib dan relatif homogen menjadi landasan masyarakat yang dikenal adem dan tenteram.

“Itu dua dekade terakhir ya. Faktanya di lapangan menunjukkan pergeseran yang nyata. Wonomulyo telah berkembang pesat dari era kolonisasi ke dunia digital native.” Ujar Adi Arwan Alimin penulis buku Sejarah Wonomulyo 1937.

Sejak lama Wonomulyo disebut-sebut lebih ramai, dan menjadi pusat perdagangan utama di Kabupaten Polewali Mandar. Wilayah kolonis mampu menggeser aktivitas ekonomi dari pusat ibu kota kabupaten. Kemajuan ini diiringi dengan dinamika sosial yang kompleks, di mana interaksi antar kelompok masyarakat dan tuntutan pembangunan semakin tinggi.

Meski bergeliat menjadi pusat perniagaan, Wonomulyo bukan tanpa tantangan. “Secara nyata kita telah melihat adanya pergeseran paradigma terhadap kota ini. Padahal transformasi Wonomulyo mestinya dijaga oleh patron yang dikelola dari kebijakan dari atas, dan mutu sosial masyarakatnya tetap diperkuat.” Tanggapan ini disampaikan Bahrun Sahibuddin, salah satu warga senior Wonomulyo yang dikenal selama ini sebagai pengamat sosial politik dan kebudayaan, di rumahnya di Jalan Kesadaran Selasa pagi.

Menurutnya, transformasi Wonomulyo merupakan miniatur dari proses pembangunan daerah di Indonesia. Perjalanannya dari koloni menjadi pusat perdagangan menawarkan pelajaran berharga. Posisi warga Wonomulyo sesungguhnya sangat terbuka dan selalu mampu beradaptasi dengan kondisi apapun, kata Bahrun, ini memerlukan perhatian serius pemerintah baik di kecamatan maupun kabupaten.

“Analisis yang lebih mendalam memang sangat diperlukan, terutama yang berbasis pada data kuantitatif terkini seperti statistik demografi, ketenagakerjaan, dan struktur ekonomi. Data ini akan menjadi landasan kebijakan yang tepat sasaran untuk menjawab tantangan tata ruang, pemerataan, dan pelestarian identitas budaya di tengah geliat ekonomi.”

Adi Arwan Alimin, yang juga akademisi Institut Hasan Sulur (HIS) Mandar Wonomulyo ini, menekankan hal yang sama. “Dengan mempelajari sejarah kolonisasi Mapilli dan merancang pembangunan ke depan berbasis data, diharapkan Wonomulyo dapat terus tumbuh sebagai kawasan yang tidak hanya makmur secara ekonomi, tetapi juga berkeadilan sosial dan tetap berakar pada kearifan lokal.”

Sebagai kota yang sarat sejarah, kata Adi Arwan, Pemkab Polewali Mandar perlu melakuakn kajian mengenai tata morfologi kota Wonomulyo, sebelum bentuk fisik kota yang mencakup elemen-elemen seperti jaringan jalan, bangunan, dan penggunaan lahan, serta bagaimana elemen-elemen ini akan berubah seiring waktu akibat proses sosial, ekonomi, dan sejarahnya.

Sementara anggota DPRD Provinsi Sulawesi Abdul Halim menyebutkan perhatian khusus harus diberikan pada bagaimana bentuk fisik sebuah kota yang berubah seiring waktu, dan bagaimana kota-kota yang memiliki akar sejarah yang sama dapat saling dibandingkan

“Sejak awal Wonomulyo ini telah ditata secara tertib dengan tata wilayah yang terbagi dengan baik. Namun kini memerlukan kajian lebih luas karena tapak bekas kolonisasi Mapilli ini telah menampung beban sosial, dan pembangunan yang bergerak hingga jelang 100 tahun,” urai Abdul Halim anggota DPRD Sulbar kepada mandarnesia.com, akhir pekan lalu. (*)