Waspada ! Wabah “Ulat Tentara” Menyerang Pertanaman Jagung Sulbar

Oleh : Suyono, SP., MSi

(Dosen Prodi Agroekoteknologi Fapertahut Unsulbar)

 Ulat tentara dikenal sebagai hama yang sangat merusak pada suatu pertanaman. Ulat ini tidak berbulu dan oleh masyarakat awam biasanya menyebutnya dengan ulat grayak atau dalam bahasa ilmiahnya disebut dengan Spodoptera. Ulat grayak merupakan salah satu hama yang tergolong dalam jenis insect atau serangga dan digolongkan kedalam ordo Lepidoptera yakni golong ngengat dan kupu-kupu. Ulat grayak mempunya banyak spesies, menurut artikel bahwa spesies dari ulat grayak berjumlah 37 spesies. Di Indonesia, ulat grayak utama adalah Spodoptera exigua (ulat berwarna coklat kehijauan) dan  Spodoptera litura (ulat berwarna coklat).

Serangan hama ulat grayak ini mencakup berbagai tanaman budidaya seperti tanaman padi, jagung, palawija, sayuran, perkebunan bahkan tanaman kehutanan pun bisa terserang hama ulat grayak ini. Ulat grayak termasuk hama yang rakus, hama ini akan menghabiskan bagian tanaman terutama daun dari tanaman. Ulat ini tinggal di bawah permukaan tanah di siang hari dan aktif memakan tajuk tumbuhan pada malam hari. Serangannya pada tanaman sayuran bisa dihabiskan tanpa sisa sehingga dalam waktu semalam dapat menghabiskan suatu pertanaman, dan oleh sebab itu dikenal sebagai “ulat tentara”.

Sebaran ulat ini ditemukan di Eropa, Asia, Afrika, Australia, Amerika dan biasanya banyak terdapat pada daerah yang beriklim panas. Di daerah tropis yang ditemukan di Negara-negara seperti Indonesia, India, Arab, bagian selatan Yaman, Somalia, Ethopa, sudan, Negeria, Mali, Kamerun dan Madagaskar.

Berdasarkan informasi liputan dari mandarnesia.com, beberapa wilayah di Sulawesi Barat sejak tiga bulan terakhir terdapat serangan hama ulat menyerang puluhan hektare tanaman jagung di kecamatan Malunda, Kabupaten Majene. Menurut pengakuan dari salah serang petani jagung di Lingkungan Galung Kelurahan Malunda yang bernama Murham, mengatakan secara keseluruhan ada sekitar 50 hektare tanaman jagung diserang hama ulat dan ulat itu disebut dengan ulat Afrika berdasarkan keterangan penyuluh obat dari suatu perusahaan.

 Waspada Hama Ulat Tentara (Fall Army Worm)

Fall Army Worm (FAW) merupakan hama  jenis baru spesies Spodoptera frugiperda yang menyerang tanaman jagung di berbagai belahan dunia. Keberadaan hama ini menjadi ancaman bagi Negara produsen jagung termasuk Indonesia. Keberadaan hama ini menjadi perhatian serius karena disamping mempunyai daya jelajah tinggi juga mempunyai kecepatan reproduksi yang sangat cepat sehingga dapat merusak tanaman dalam waktu singkat.

FAW adalah hama tanaman asli Amerika. Namun sejak 2016, ulat ini bergerak agresif ke arah timur, menyapu Afrika, dan mendarat pertama kali di Asia pada pertengahan 2018 di India. Sejak Januari 2019, ulat menyebar ke Bangladesh, Cina, Myanmar, Sri Lanka, Thailand sebelum tiba di Indonesia. Di Sri Lanka, ulat ini menyerang lahan seluas 40.000 hektare dan merusak sekitar 20% tanamannya. Serangan berat hama ini bisa menimbulkan kehilangan hasil hingga 30%. Di Afrika, kerugian akibat serangan hama ini sekitar USD1-3 miliar.

Kementerian Pertanian telah mengimbau agar semua provinsi di Indonesia mewaspadai penyebaran ulat tentara spesies Spodoptera frugiperda. Ulat ini menyerang, merusak atau menghancurkan tanaman jagung dan tanaman lainnya hanya dalam semalam. Ulat ini juga mampu bermigrasi (menyebar) ratusan kilometer. Ulat grayak jagung terdeteksi kali pertama di Indonesia di Sumatra Barat pada Maret 2019. Dalam waktu 4 bulan, hama itu menyebar ke 12 provinsi di Indonesia di Sumatra, Jawa, dan beberapa bagian di Kalimantan. Kementerian Pertanian telah menghimpun informasi tentang kerugian dari tanaman yang terinfeksi oleh hama tersebut.

Penyebaran FAW di Indonesia sangat cepat dan mampu beradaptasi dengan baik. Bahkan langsung merusak pertanaman jagung. Ini karena diduga hama FAW ini memiliki karakter biologi yang unik. Selain itu, mudahnya penyebaran hama ini karena didukung oleh tingginya volume pertukaran barang dagang antar Negara bisa melalui perdagangan sayur-sayuran, buah-buahan Negaraegara atau mungkin lewat impor jagung sebagai pakan atau sebagai bibit induk.

Penyebaran dari FAW ini juga bisa terbang terus mengikuti cahaya, ketika fase dewasanya (Ngengat) dapat terbang sejauh 100 km perhari dengan bantuan angina. Serangga ini mampu bertahan di musim dingin. Karena Indonesia adalah wilayah tropis yang merupakan salah satu wilayah di dunia yang memiliki kesesuaian iklim dengan pertumbuhan dan perkembangan ulat tentara spesies Spodoptera frugiperda. Sehingga Negara Indonesia sangat berpotensi terserang hama ini.

Departemen Proteksi Tanaman IPB telah mewaspadai serangan FAW ini sejak masuk di India dan Thailand dengan membuat tim khusus penanganan Ulat Grayak Jagung (UGJ). Berdasarkan temuan lapang tim UGJ IPB, UGJ telah menyerang tanaman jagung di berbagai wilayah yaitu Pasaman Barat, Bogor, dan Lebak. Selain itu laporan serangan UGJ juga diterima dari beberapa wilayah di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.

Menurut Dra. Dewi Sartiami, M. Si, Tim UGJ IPB, mengungkapkan bahwa temuannya di lapangan sudah membuktikan bahwa UGJ telah masuk ke Indonesia. Terdapat ciri-ciri morfologi khusus yang membedakan antara UGJ dengan ulat grayak yang lain. Ciri-ciri tersebut diantaranya : “Pada bagian kepala terdapat motif ‘Y’ terbalik dan di segmen 8 abdomen terdapat 4 spot membentuk bujur sangkar. Di segmen sebelumnya juga terdapat 4 spot membentuk trapesium. Ketiga ciri tersebut merupakan ciri yang paling gampang ditemui.” UGJ tidak hanya menyerang daun namun juga menyerang tongkol dan bunga jagung. Sehingga harus diwaspadai sebagai ancaman serius produksi pangan Indonesia. Pasalnya hama ini dapat berpotensi menyerang tanaman padi.

Oleh karena itu pemerintah dan pihak yang terkait selaku pemangku kebijakan perlu perhatian serius dalam menanggapi wabah dan mencari strategi tepat untuk merespons serangan dengan mengerahkan sumber daya secara optimal.

Sinergisitas yang selaras dengan berbagai pihak. Sinergi antar perguruan tinggi, pemerintah, petani, dan petugas lapangan perlu diselaraskan untuk segera merespon serangan hama ini baik dalam hal teknis maupun kebijakan.