Oleh: Muhammad Ridwan Alimuddin, Pemerhati Sejarah Mandar
Di puncak ada makam Syekh Abdul Mannan, terletak di sebelah utara perkampungan masyarakat Salabose. Disekitarnya menjadi lokasi pemakaman tua bercampur dengan kuburan baru khusus dari warga masyarakat Salabose. Makam utama adalah Syekh Abdul Mannan bersama istri berada di dalam sebuah cungkup yang berdinding tembok batu bata. Sebelumnya ada Mesjid Kuno Salabose, letaknya di tengah-tengah perkampungan Salabose.
Pada mulanya mesjid ini dibangun oleh Syekh Abdul Mannan di atas tanah menggunakan bahan bambu beratap daun rumbia, kemudian diganti menjadi bangunan permanen di tempat yang sama. Pada tahun 1975, mesjid ini direhabilitasi atas bantuan biaya Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Selatan. Sebuah batu bulat berdiri, pada bagian atasnya datar terdapat lekukan yang mirip dengan telapak kaki berukuran besar, diyakini oleh masyarakat setempat bahwa di atas batu tersebut adalah telapak kaki Syekh Abdul Mannan.
Batu tersebut berada di sebelah timur sekitar 50 meter jaraknya dari mesjid. Situs Ujung, lokasi ini dapat dimasukkan sebagai situs. Menurut keterangan masyarakat, bahwa di tempat tersebut adalah lokasi tempat tinggal Pappuangan Salabose pada awal terbentuknya Kerajaan Banggae.
Kembali ke kaki bukit Buttu Salabose, “di bawah”, tepatnya di kaki bukit tempat Museum Mandar berada, ada bangunan Bappeda Majene. Dulunya juga bangunan bergaya Eropa, juga bagian dari rumah sakit di masa silam. Tapi khusus untuk tempat melahirkan. Namanya “Marendeng”. Mungkin itu alasan sehingga ada sekolah kesehatan menggunakan nama STIKES Marendeng.
Pengelola sekolah kesehatan pernah menyewa salah satu bagian Museum Mandar sebagai tempat perkuliahan. Dari pengamatan foto Dr. Keiser, besar kemungkinan lokasi ruang kerjanya adalah salah satu ruangan yang pernah dipinjam STIKES Marendeng, yang sekarang menjadi tempat penyimpanan koleksi bahari Museum Mandar.
Dari Gedung Bappeda, hampir 400 meter ke arah timur ada SDN 1 Saleppa. Dulu adalah Vervlog Scholl (Sekolah Gubernemen) yang dibangun 1905. Dari Bappeda jalan ke arah barat sekitar 100 meter ada SMP 1 Majene. Sekolah yang pembangunannya bersamaan dengan SDN 1 Saleppa.
Menyeberang jalan dari gerbang SMP 1 Majene, ada perbukitan yang di atas padat pemukiman penduduk. Ternyata di atas ada Kompleks Pemakaman Belanda. Sayangnya tempat itu tersembunyi di belakang pemukiman penduduk. Di pemakaman itu terdapat makam-makam bergaya klasik, khas Eropa. Yang dimakamkan di situ selain orang Eropa yang pernah tinggal dan wafat di Majene, juga beberapa suku Nusantara yang identik sering menjadi pegawai Belanda. Seperti orang Ambon dan Minahasa.
Di sisi kiri jalan bila berjalan ke arah barat adalah perkampungan Pangaliali. Kampung ini sudah lama. Sebagai perkampung yang padat terdokumentasi jelas di foto yang diambil di tahun 1930-an. Bagian selatan kampung ini dibatasi oleh bukit kecil yang bentuknya seperti tanjung di laut. Itulah Buttu Ondongang. Di puncaknya terdapat puluhan makam kuno. Merupakan Komplek Makam Raja-raja Banggae. Sekeliling Buttu Ondongang dipenuhi pemukiman penduduk.
Dulu, di kaki Buttu Ondongang di sisi selatan adalah pantai. Masa pemerintahan Bupati Mustar Lazim (1990 – 1995) kawasan itu direklamasi untuk menjadi jalan lingkar di Majene. Selain itu, di masa Mustar Lazim jugalah Gedung Assamalewuang dibangun bersama bangunan-bangunan pemerintah Kabupaten Majene, termasuk Kantor Bupati Majene yang baru serta Monumen Posasiq, yakni tiga patung perahu di persimpangan jalan ke arah kampung Pangali-ali. Monumen itu dibangun untuk memperingati tempat pemberangkatan dan pendaratan para pejuang yang berlayar ke Pulau Jawa.
Kantor Bupati Majene tidak jauh letaknya dari Buttu Ondongangan, ke arah barat. Dulu ada banyak bangunan bergaya Eropa di sini. Sebagian besar dihancurkan ketika pembangunan Mesjid Ilaikal Masir. Ada satu bangunan bergaya Eropa di belakang mesjid, tapi itu adalah replika dari bangunan yang dirobohkan (bangunan baru). Kediaman Bupati Majene dulunya adalah kediaman pejabat Belanda yang disebut Pasanggrahan.
Ada foto Belanda yang memperlihatkan dua kapal Belanda berlabuh di Teluk Majene. Sepertinya diambil dari Pasanggrahan, yang dibuktikan adanya terlihat taman khas kediaman pejabat di dalam foto. Pernah ada penyerangan ke Pasanggrahan yang waktu itu menjadi kediaman controleur oleh pasukan Ammana I Wewang 6- 7 Juni 1906. Sebelumnya ke tangsi militer Belanda pada 6 April 1906. Dalam peta terbitan Belanda 1935, memang di situ diberi tanda/simbol Pasanggrahan dengan tambahan huruf A. R. yang berarti (kediaman) Assitent Resident.
Saat ini di kompleks Rumah Jabatan Bupati Majene masih ada artefak peninggalan bangunan Belanda. Pertama adalah bangunan di samping bangunan utama atau kediaman bupati, tepatnya dekat pohon asam “camba” besar. Daun jendela dan pintu kemungkinan masih asli. Ada dua artefak menarik yang sepertinya terabaikan. Persis di sudut rumah jabatan bupati, ada semacam tugu kecil, tinggi tidak sampai dua meter.
Sebenarnya itu bukan tugu atau monumen, tapi bekas pintu gerbang. Dulu ada engselnya, tapi ada yang lepas karena kualitas besi/bajanya yang baik dibuat senjata tajam. Ternyata, di kompleks asisten residen ada jalan yang menghubungkan bagian halaman depan kompleks dengan perkampungan Ondongang. Nah makanya ada pintu di situ. Lalu, di rimbun semak di belakang kompleks ada bekas kolam air mancur.
Kemungkinan kolam itu yang sedikit terlihat di dokumentasi Belanda tahun 30-an. Beberapa meter ke utara adalah menara penampungan air, terletak di sudut kompleks rumah jabatan, persis di samping lapangan tennis, dekat pohon besar.
Juga ada dua meriam di depan rumah jabatan bupati. Ukurannya hampir sama dengan yang ada di halaman rumah jabatan wakil bupati. Bedanya, yang di depan rumah jabatan bupati disimpan di atas ‘stand’ dan sudah dicet warna-warni. Adapun di rumah jabatan wakil bupati, teronggok di tanah, di samping ‘stand-nya’. Dan, karatan.
Sekira 300 meter ke arah barat dari Mesjid Ilaikal Masir terdapat Taman Makam Pahlawan. Di situ dimakamkan pejuang-pejuang Mandar yang pernah melawan penjajah Belanda dan Jepang. Diresmikan Bupati Majene Alim Bachrie pada 14 November 1981.
Di daerah Camba, di kawasan ini juga pernah ada tangsi militer Belanda. “Dalam masa-masa itu, di awal tahun 1905, tersiar kabar berita bahwa Belanda akan mendatangkan bantuan lebih besar yang akan diikuti patroli masif di Mandar. Informasi tersebut dibawa datang oleh pedagang-pelayar Mandar. Belakangan informasi itu terbukti. Dua kapal besi Belanda berlabuh di Banggae, Teluk Majene. Mereka melakukan tembakan ke darat. Tak ada tanda-tanda perlawanan. Mereka pun mendarat dan membuat perkemahan di kampung Camba. Oleh orang Mandar, perkemahan itu disebut “boyassoba”,” demikian tentang catatan prihal pertahanan Belanda di Camba dalam buku Biografi Ammana I Wewang Berjuang Menentang Penjajahan Belanda karya M. T. Azis Syah.
Makin ke timur adalah bagian pinggiran Kota Majene. Dua kilometer ke arah barat belok ke utara dari jalan Trans Sulawesi, dulunya terdapat tempat perawatan khusus penderita lepra/kusta, yaitu di Teppo. Di peta buatan Belanda berangka 1935, kawasan itu ditulis “Leproserie”.
Berjarak 14 kilometer ke utara adalah Pamboang. Di sini ada teluk kecil, Teluk Pamboang. Merupakan pelabuhan penting di Majene selain Teluk Majene. Bila Musim Barat, perahu-perahu dagang di masa lampau akan berlabuh di Teluk Majene. Sebab angin dan ombak besar dari arah barat. Tapi ketika Musim Timur, ketika angin dari timur membuat ombak besar di Teluk Majene, maka perahu akan memilih berlabuh di Teluk Pamboang. Demikian juga kapal-kapal milik Belanda.
Dalam beberapa catatan, Belanda kadang langsung membagi dua armada kapal perang atau kapal yang mereka gunakan datang ke Majene. Ada yang berlabuh di Teluk Majene, ada di Teluk Pamboang. Apalagi pusat pertahanan Ammana I Wewang di Majene adanya di perbukitan Pamboang, yakni Buttu Adolang. Lokasinya berjarak sekira 9 km dari Pamboang.
Jadi, Teluk Pamboang dan Buttu Adolang bisa disebut sebagai Kawasan Cagar Budaya di Kecamatan Pamboang, selain di pesisir Teluk Majene di kota Majene. Selain yang telah dituliskan sebelumnya, di kota Majene masih ada beberapa situs yang bisa dijadikan benda cagar budaya. Diantaranya rumah bergaya Eropa di Tanjung Batu dan rumah penduduk yang sebagian konstruksinya dibuat di awal tahun 30-an [.]
Keterangan Foto: Kompleks pemakaman orang Eropa di Majene terletak di perbukitan seberang SMP 1 Majene. Foto Muhammad Ridwan Alimuddin.