Telepon kepada Ibuku

Telepon kepada Ibuku -

Oleh: Haidir Fitra Siagian

Perkara yang paling membahagiakan orang tua adalah ketika anak – anaknya mudik saat idul fitri. Itu sudah berlaku di negara kita bahkan di kawasan Nusantara ini. Demikian juga anak – anak, akan terasa kerinduan kepada orang tuanya adalah saat – saat seperti ini.

Sudah empat tahun kami tidak mudik ke Sipirok, pedalaman Sumatra Utara, kampung halaman orang tuaku yang juga tempat kelahiranku. Selain alasan klasik, kami tak pulang juga karena nyonyaku sedang mempersiapkan keberangkatannya pergi sekolah. Insya Allah setelah lebaran.

Idul Fitri tahun 2014 adalah lebaran terakhir kami ke Sipirok, itu pun tiba dua hari setelah lebaran karena salah jadwal beli tiket delapan bulan sebelumnya.

Tahun itu, kami sekeluarga lengkap lima orang pulang ke Sipirok. Saya bersama tiga anakku duluan, dan ibunya datang belakangan. Itu bersamaan dengan pernikahan adikku yang nomor dua dari terakhir. Kala itu, bouku yang dari Singapura juga ikut pulang.

Di sana kami tak lama, hanya enam hari. Walaupun demikian, cukup mengobati rasa rindu kepada keluarga dan koum si solkot lainnya. Ibuku sangat senang, walaupun ayahku sudah duluan dipanggil menghadap Sang Khalik 3 tahun sebelumnya.

Terdampar di Bandara

Ada satu hal unik waktu kami akan pulang ke Makassar. Kami mengambil rute Sipirok – Pekanbaru – Makassar via Lion Air (waktu datang kami lewat Medan). Jarak Sipirok – Pekanbaru perlu 12 jam. Jika berangkat naik bus dari Sipirok jam 6 sore, tiba di Pekanbaru jam 6 pagi. Tiket pesawat jam 12 siang. Apa daya, jelang tiba di Pekanbaru, jalanan macet total sepanjang 17 km, tak ada pergerakan. Akhirnya kami tiba di Bandara Sultan Syarif Kasim jam 7 malam. Pihak Lion Air tak mau tahu. Aturannya kalau terlambat ya hangus. Terpaksa kami nginap semalam di Pekanbaru dan beli tiket lagi. Alhamdulillah akhirnya sampai di Makassar dua hari kemudian karena di Jakarta juga sedikit ada masalah.

Dua Budaya yang Berbeda

Tahun 2015, kami tidak pulang lebaran, karena saat itu saya sedang menunggu jadwal viva atau ujian tutup disertasiku di UKM. Demikian juga tahun 2016, tidak pulang, karena sudah janjian dengan keluarga besar baik di Sipirok dan di Sulbar agar tahun itu sama-sama ikut ke Malaysia menghadiri wisudaku di UKM. November 2016 adalah pertemuan dua keluarga yang penuh keakraban dari dua kebudayaan yang berbeda. Bertemunya di Malaysia. Seperti lebaran saja. Karena penuh dengan kue-kue tradisional dari Mandar dan dari Tapanuli. Keluargaku yang ada di Malaysia dan Singapura juga ikut bergabung. Bahkan ada acara marpio mangan, mengajak makan di rumah keluarga.

Kemudian tahun 2017, kami juga tidak pulang. Karena saya sudah janji kepada ibuku bahwa tahun ini, saya akan datang ke Sipirok menjemput membawanya ke Makassar. Bulan November 2017, saya dan nyonya berangkat ke Sipirok, memenuhi janji kami tersebut.

Nyonyaku Jemput Ibuku

Ibuku tinggal di Makassar selama hampir empat bulan. Nopember 2017 – Februari 2018. Dalam rentang itu, datang pula bou atau adik kandung ayahku dari Singapura, bersama ponakan. Keduanya adalah warganegara Singapura. Selama mereka di sini kami bawa jalan-jalan ke sana ke mari melihat suasana Provinsi Sulawesi Selatan, termasuk ke Jeneponto.

Pada pertengahan bulan Februari 2018, ibuku meminta pulang. Mungkin sudah bosan dengan kami. Wallahu’alam. Saat itu memang saya agak sibuk dengan urusan Timsel KPU Sulbar. Tapi alasan yang jelas adalah ibuku mau berangkat umrah, walaupun dananya belum cukup. Katanya mau mendaftar bersama teman-temannya.

Puasanya Utuh

Hari ini, sehari sebelum idul fitri, saya sengaja telepon ibuku lagi. Tadi kami cakap-cakap tentang keadaannya. Ibuku menceritakan pengalamannya selama Ramadhan. Dia sangat gembira di usianya yang sudah sedikit lagi 75 tahun, masih bisa aktif ke masjid. Isya, Tarwih dan Subuh, sepanjang Ramadhan ini, selalu berjamaah di Masjid Taqwa Muhammadiyah Sipirok, sekitar 500 meter dari rumah. Puasanya juga utuh. Tidak ada yang alpa. Juga mengikuti pengajian ibu – ibu Aisyiyah di perguruan Muhammadiyah setiap hari Senin dan Jum’at sampai jam 10 pagi.

Bagi ibuku, itu adalah satu kebanggaan dan kebagiaan tersendiri. Ini berkat doa kalian, anak-anakku, katanya kepadaku sebagai penyebab atas prestasinya tersebut. Memanglah ibuku setiap kami bertelepon, hal utama yang dia minta adalah agar mendoakannya supaya sehat wal afiat sehingga dapat beribadah dengan tenang.

Ibuku juga menceritakan tentang dana yang saya kirim untuk keluarga. Minggu lalu memang saya sempat transfer uang beberapa rupiah kepada ibuku, dengan beberapa tujuan. Semuanya adalah untuk saudara-saudaranya atau para om tante juga kepada wak saya, janda dari abang almarhum ayahku. Demikian juga kepada abangku, yang tinggal dengan Ibuku. Lengkap dengan jatah masing-masing.

Gagap Teknologi

Ibuku tidak punya ATM, karena tidak tahu caranya. Jadi harus ambil manual di bank yang jaraknya dari rumah cukup dekat, sekitar 150 meter. Tadi dia ke sana. Ternyata bank sudah tutup. Tak bisa menarik rupiah.

Alhamdulillah ada seorang, tetangga dekat, ukhti alumni USU yang berbaik hati. Dia meminjamkan uangnya kepada ibuku. Lalu ibuku membagi uang tersebut. Untuk abangku sudah diberikan. Tanteku dari Desa Panggulangan sudah datang mengambil. Ada paman atau Tulang, belum tiba dari Perawang. Demikian juga untuk Wak di Rantau Parapat dan Tante yang di Duri Dumai, sudah disiapkan jatah masing-masing. Sisa di titip kepada keluarga yang akan ke sana selepas lebaran.

Nah, yang membuat ibuku sedikit agak sedih adalah jatahnya sendiri. Sudah dicari ke sana kemari, tak ketemu. Kemungkinan jatuh dari tanya atau tercecer. Apakah sudah hilang atau bagaimana, sampai sekarang belum ada kabar.

Hukumnya Syirik

Kehilangan uang menjelang idul fitri memang menyedihkan. Ini mengingatkan saya sekitar 30 tahun lalu. Saat saya masih kelas satu SMP. Ibuku adalah seorang penjual pakaian dari pasar ke ke pasar. Pada hari pasar terakhir di Sipirok, tahun 1987, uang hasil jualan dalam tas hilang dari kios kami jualan di Balerong Sipirok. Kalau tidak salah waktu itu diperkirakan empat setengah juta Rupiah.

Saya lihat ibuku sedih dan menangis. Banyak orang memberi saran agar melaporkan kepada dukun. Katanya dukun bisa mencarinya dengan ilmunya. Tapi ayahku tidak mau. Hukumnya syirik katanya. Jadilah kami lebaran saat itu dengan apa adanya. Dan seterusnya dan seterusnya.

Wassalam saya tak bisa melanjutkan lagi.

Somba Majene Sulawesi Barat 140618 jelang Ashar,

Haidir Fitra Siagian