Oleh Irmawati
Relawan Mamuju Mengajar
AKSES jalan yang sulit menuju ke lokasi tak mengurungkan semangat relawan untuk menemui anak-anak di pelosok timur Mamuju.
Desa Karama, Kecamatan Kalumpang. Memalingkan wajah dari kehidupan ibu kota Mamuju. Kampung inilah tujuan kami. Jauh sebelum saya menginjakkan kaki di tempat tersebut, saya sudah sering mendengar nama “Kalumpang.”
Berangkat dari trans Sulawesi, di Kecamatan Tasiu, kemudian belok kiri dari arah Mamuju menuju Kabupaten Mamuju Tengah.
“Sepertinya cukup dekat,” keyakinan itu yang sering kali muncul dalam pikiran saya.
Keikutsertaan saya, bukanlah perkara mudah. Saya terpilih sebagai relawan di komunitas Mamuju Mengajar. Selama empat hari, mulai dari 26 sampai 29 Januari, saya bersama relawan dari latar belakang profesi yang berbeda. Mulai dari kepolisian, dokter, perawat, bidan, guru, wirausaha, fotografer samapi mahasiswa akan berada di Desa Karama.
Perjalanan penuh makna mulai saya tapaki, hari pertama, melakukan perjalanan dengan menggunakan kendaraan roda empat. Bersama personil polisi yang mengendarai motor trail.
Perjalanan yang menghabisakan waktu sekitar empat jam ditambah dengan jalan berlubang cukup mengguncang isi perut.
Tantangan tidak sampai di situ, 23 lekuk anak sungai harus kami lalui untuk sampai ke Desa Karama, Kecamatan Kalumpang. Jalan yang curam dan terjal membuat kendaraan yang saya tumpangi terhenti di Kecamatan Kalumpang dan tidak bisa melanjutkan perjalanan.
Untuk sampai ke desa yang kami tuju. Ada dua alternatif. Melanjutkan perjalanan melalui darat atau menyusuri sungai. Di tempat tersebut, kami memutuskan untuk berpisah. Rombongan polisi yang mengendarai motor trail, dengan dukungan kondisi fisik yang masih fit ditambah dengan keberanian menantang jalan yang tidak mudah untuk ditaklukkan. Mereka menempuh jalur darat.
Jarak tempuh bagai pengendara motor, biasanya ditempuh dengan waktu sejam. Kami pun berkemas dan mengangkat kaki menaiki perahu, selama sejam lebih perahu tersebut akan mengantar kami menantang arus sungai yang cukup deras.
Tak dapat dibayangkan, jika perahu terbalik apa yang akan terjadi? Namun saya tetap berprasangka baik. Banyaknya muatan membuat perahu tidak bisa melintas di bantaran sungai yang dangkal. Perahu melanjutkan perjalanan, kami pun harus turun, lalu berjalan kaki sejauh tiga kilometer untuk mencapai persinggahan perahu kedua.
“Tidak dapat ditembus oleh kapal motor karena mengangkut muatan yang begitu banyak. Minimal hanya 2 orang saja,” kata si pengemudi.
Satu jam berjalan, kami kembali naik ke kapal yang sama, dengan kondisi arus yang masih deras. Akhirnya, jalan panjang ini mengantarkan kami sampai ke tujuan, Desa Karama dan disambut ramah oleh warga.
Di antar kerumunan warga, rupanya ada seorang dokter. Datang dari Bali, Bayu merupakan dokter yang sedang menjalani kontrak kerja program pemerintah, Nusantara Sehat yang ditempatkan di desa tersebut.
Ia pun tergabung dalam kegiatan yang akan kami lakukan. Bayu juga bertugas membantu kami mencari tempat tinggal yang akan dijadikan posko.
Bercerita tentang kondisi Desa Karama. Desa ini jauh dari perkembangan zaman. Infrastruktur di sana masih sangatlah buruk. Untuk penerangan, warga di desa tersebut menggunakan genset. Sementara untuk jaringan telekomunikasi yang telah menjadi kebutuhan, juga tidak terjangkau.
Penduduknya mayoritas Nasrani, gereja mudah ditemui. Muslim sebagai minoritas di sana, namun toleransi tetap terpelihara dengan baik. Bahkan ada gereja yang berhadapan langsung dengan masjid.
Mengawali kegiatan, kami mengajar, tebar buku, pemeriksaan kesehatan serta Baksos. Kami dibagi menjadi tiga tim. Di tiga titik sekolah yang dikunjungi. SD Taman, SD Polio, dan SD Rantepata.
Masing-masing sekolah punya tim, dalam satu tim tergabung berbagai profesi. SD Taman dapat bagian dari tim satu dan saya berada di tim tersebut.
Jika dibandingkan dengan teman-teman yang lain, saya cukup beruntung. Posisi posko sangat berdekatan dengan sekolah yang saya tempati.
Semantara tim yang lain harus berjalan kaki selama satu jam untuk mencapai lokasi sekolah. SD Taman memiliki cukup banyak siswa, ada 120-an orang dan memiliki tenaga pengajar yang cukup.
Tak hanya mengajar, kami juga memberikan semangat dan dukungan kepada anak-anak untuk bermimpi.
“Tidak ada batas dan halangan serta tidak ada perbedaan. Semangat dan perjuanganlah yang menentukan. Jangan jadikan kondisi desamu sebagai penghalang untuk menggapai cita-citamu,” semangat itu yang saya sampaikan.
Terhenti sejenak dan mengelus dada, tak ada satu pun guru yang berstatus sebagai PNS di sekolah tersebut. Hanya kepala sekolah. Perbincangan saya bersama beberapa guru ketika di kantor, mereka mengaku telah berbakti semenjak tahun 2003 sampai 2015 masih berstatus sukarela.
Setelah memasuki tahun 2016, mereka baru diangkat menjadi pegawai honorer dengan SK yang ditandatangani oleh bupati.
“Saya sebagai kepala rumah tangga, untuk memenuhi kebutuhan keluarga, gaji yang saya dapat sebagai seorang guru tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga saya. Apalagi saya mempunyai anak banyak. Untuk menutupi kebutuhan itu saya harus ngojek sepulang dari sekolah.” Ujar salah satu guru yang menolak disebutkan namanya.
Dalam benak saya bertanya, Ke mana pemerintah yang membawahinya? Ke mana K1 dan K2?
Sayapun memaksa untuk bertanya mengenai K1 dan K2, ia membalasnya dengan senyum kemudian menjawab. “Kami selalu terlambat mendapatkan informasi tentang hal tersebut. Karena kami kesulitan untuk mendapatkan informasi. Kami terlalu jauh ke dalam pelosok.”
“Mereka butuh sentuhan. Mereka butuh perhatian. Mereka tak butuh janji. Mereka butuh pembuktian,”
Rasa lelah yang kami alami selama perjalanan, terbayar lunas oleh indahnya pesona alam yang berpadu dengan keramahan warga di sana. Sulit untuk ditolak, jika diajak ke tempat itu. Semoga saya dapat kembali ke desa itu. (ss)