Santri Petani: Kiprah Kaum Sarungan Mengisi Kemerdekaan

Mencetak santri yang mahir bertani memang bukan hal mudah, terutama bagi pesantren yang padat program dan kurikulum dirasah islamiyyah. Diperlukan persiapan yang matang dan terencana, antara lain lahan yang memadai, sarana yang cukup, peralatan, serta tenaga pendamping/ penyuluh yang terampil dan berpengalaman. Modal untuk merintis ini juga tidak sedikit, antara lain untuk membeli bibit, pupuk, dan honorarium penyuluh.

Namun, jika mengingat besarnya dampak yang akan diterima berupa pembentukan karakter dan pengalaman berharga, maka semua pengeluaran itu akan bernilai investasi. Akan tercetak kader-kader dakwah yang tangguh yang siap mandiri. Bahkan, para santri selepas nyantri, dapat menjadikan pengalamannya sebagai sarana untuk berdakwah di kalangan petani. Atau, menjadi pelaku agrobisnis dan agroindustri dalam menguatkan ekonomi ummat dan bangsa di masa mendatang.

Selain aspek teknis yang investatif tersebut, aspek non-teknis juga memerlukan mujahadah tersendiri. Terutama dukungan orang tua dan kesiapan calon santri. Bukan rahasia lagi, bila sebagian masyarakat memandang sebelah mata “nasib” petani. Bukan profesinya yang bermasalah, karena ini sangat mulia. Melainkan, faktor “hama-hama” perusak tanaman pertanian itu sendiri yang menurunkan semangat bertani. Misalnya, pupuk bersubsidi yang langka, harga pupuk yang mahal, serangan hama, banjir dan barang impor yang menjatuhkan harga di saat panen. Pemerintah dituntut bisa menyelesaikan masalah klasik ini, agar hasil pertanian petani memiliki nilai jual yang baik.

Gaung untuk menggalakkan pertanian kembali diserukan para ahli ekonomi sebagai antisipasi menghadapi dampak yang lebih serius dari pandemi corona. Virus ini masih menyita perhatian besar dunia, karena berbagai sendi kehidupan lumpuh, terutama ancaman resesi ekonomi yang sampai hari ini telah melanda banyak negara. Interaksi harus terbatas dan setiap orang harus mampu mendisiplinkan dirinya dalam menerapkan protokol kesehatan. Sungguh, ini menguji ketangguhan dan kesabaran siapapun. Sebagai manusia, ini kerap memunculkan kejenuhan.

Patut disyukuri, sebab sekarang ketersediaan sembako masih stabil di tengah daya beli mengalami penurunan. Artinya, corona “tidak mempan” menghentikan kegiatan bertani dan tanaman tetap tumbuh secara alami. Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta menilai bahwa pemerintah perlu mendorong investasi di sektor pertanian, mengingat sektor tersebut tetap tumbuh positif (2,19 persen) sebagaimana data yang dirilis BPS di kuartal II 2020 dibandingkan empat sektor lainnya: industri (-6,19 persen), perdagangan (-7,57 persen), dan konstruksi (-5,39 persen), dan pertambangan (-2, 72 persen). Ketangguhan sektor pertanian dan kegiatan bertani tidak dapat dilepaskan dari dua faktor, yakni pangan atau makanan sebagai kebutuhan pokok; dan kemudahan petani beradaptasi sesuai protokol kesehatan (Republika, 7/08/2020).

Indonesia sebagai negara agraris yang ditunjang ketersediaan lahan luas, air melimpah, serta energi matahari di sepanjang tahun merupakan modal besar yang harus dimanfaatkan. Apalagi, pertanian merupakan basis atau dasar perekonomian Indonesia yang tidak banyak dimiliki negara-negara lain. Namun, pemerintah juga perlu mengarahkan masyarakat dan menjadi teladan untuk mencintai produk dalam negeri dan mengkonsumsi pangan dari hasil bumi sendiri. Demikian harapan Ketua Komisi Ekonomi Majelis Ulama Indonesia (MUI) Azrul Tanjung.

Dalam konteks yang lebih luas, anjuran dan dorongan para ahli ekonomi agar menguatkan sektor agrikultural sepatutnya disambut juga pemerintah dengan membuat proyek food estate yang diyakini dapat membantu pertumbuhan ekonomi nasional (Republika, 7/08/2020). Krisis pangan akan dapat dihadapi dengan kesiapan yang matang, termasuk resesi yang diakibatkan pandemi corona. Masyarakat, termasuk pesantren, dapat dilibatkan menjadi pendukung utama. Dengan catatan, “jangan ada dusta di antara kita”.

Pesantren merupakan sistem pendidikan tertua yang berkarakter Indonesia yang berperan besar dalam memperjuangkan dan membesarkan negeri ini. Kontribusi besar yang pesantren sumbangkan tidak diragukan lagi. Karena memahami arti penting dan peranannya yang besar, maka Kementerian Pertanian RI mencanangkan Kelompok Santri Tani Milenial (KSTM) sejak 2019 dengan melibatkan 44 pondok pesantren di seluruh Indonesia. Santri-santri pilihan membentuk kelompok dan diberi penyuluhan dan bimbingan tehnis tentang bagaimana bertani dan beternak ayam di era digital. Sebenarnya, jumlah pesantren yang dilibatkan termasuk kecil jika dibandingkan dengan jumlah total yang tercatat di data Kementerian Agama RI sebanyak 24.525 pondok pesantren dengan jumlah santri sebanyak 3.598.950 orang. Namun, diharapkan, program KSTM ini dapat berkelanjutan meskipun hambatannya semakin menantang. Pesantren belum sepenuhnya aktif di masa pandemi ini. Sementara pesantren yang telah aktif masih fokus pada kegiatan pendidikan keagamaan (dirasah islamiyyah) yang sempat tertunda beberapa bulan.

Namun, kiranya 44 pesantren yang dilibatkan dalam pilot project KSTM itu dapat menjadi inspirasi bagi yang pesantren lainnya. Seperti kiprah Pondok Pesantren Miftahul Huda di Manonjaya, Tasikmalaya, Jawa Barat. Pesantren yang berdiri 1960-an ini sukses mengembangkan sektor pertanian dan telah memilki 30 hektar lahan. Sekitar 4000 santri menikmati hasil pertanian mandiri dari 15 hektar lahan yang telah dimanfaatkan. Lahan ini dikelola pesantren berupa persawahan, kebun bawang, buncis, dan cabai. Adapun sayuran lainnya menggunakan lahan hidroponik. Bahkan, pesantren ini juga mengelola peternakan. Dari hasil bumi yang diolah para santri ini, pesantren memenuhi kebutuhannya secara mandiri sejak berdiri. Demikian cara pesantren ini memerdekakan dirinya. Kaum bersarung dengan panen berkarung-karung. Siang mencangkul, malam baca kitab gundul. Fabiayyi aalaai rabbikumaa tukadzzibaan? [] Solo, 14.08.20

Ilustrasi : republika.co.id