Santri Petani: Kiprah Kaum Sarungan Mengisi Kemerdekaan

Oleh: Manggasali Baharuddin, Pengurus KKMSB Wilayah DIY-Jateng, tinggal di Solo

[otw_shortcode_dropcap label=”P” font=”Alike” color_class=”otw-red-text” size=”large” border_color_class=”otw-no-border-color”][/otw_shortcode_dropcap]ERTANIAN bagi pesantren bukan hal yang baru. Sejak dulu, para santri tidak hanya pandai membaca kitab gundul, melainkan juga lincah mencangkul. Bahkan banyak ulama bekerja sebagai petani sambil mengasuh pesantren. Terutama pesantren yang letaknya tak jauh dari kawasan pertanian. Aktifitas ini dilakukan sebagai sumber pangan atau ekonomi bagi keluarga dan santrinya. Lekatnya tradisi pesantren dengan pertanian menunjukkan bahwa keduanya berakar sama, yakni pentingnya berjuang dengan jiwa yang gigih dan penuh kehormatan. Jadi bukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan saja. Dalam Islam, seorang muslim yang memiliki tanah sangat dianjurkan mengolah tanah dan tidak boleh membiarkannya terbengkalai.

Pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Kyai Hasyim Asy’ary, merupakan sosok ulama yang memberikan perhatian besar terhadap petani dan pertanian. Beliau pernah menulis artikel berjudul Keoetamaan Bertjotjok Tanam dan Bertani: Andjoeran Memperbanyak Hasil Boemi dan Menjoeboerkan Tanah, Andjoeran Mengoesahakan Tanah dan Menegakkan Ke’adilan. Tulisan ini dimuat majalah Syoera Moeslimin Indonesia No. 2 Tahun ke-2, 19 Muharram 1363. Ketika mengisi identitas diri, Kyai Hasyim menyebut pekerjaannya sebagai petani dan guru agama. “Pak tani itulah penolong negeri,” demikian ungkapan Kyai Hasyim tentang petani (https://alif.id). Artinya, NU menyadari bahwa sebagian besar warga atau simpatisan organisasi ini adalah kaum yang hidup di perdesaan yang harus diberi perhatian. Hal ini sejalan dengan tujuan berdirinya NU, yaitu menyejahterakan para petani desa (www.nu.or.id).

Peranan ulama atau tokoh Islam lainnya terhadap pertanian juga dapat dirasakan dengan merintis sekolah atau pesantren pertanian. Pada tahun 1960-an, RHO Djunaedi mewakafkan tanahnya untuk pesantren. Atas arahan Muhammad Natsir, Syafruddin Prawiranegara, dan Kyai Soleh Iskandar, agar pesantren itu bercorak agrikultural, yang akhirnya berdiri dengan nama Pesantren Pertanian Darul Fallah yang artinya “rumah petani”. Salah satu tujuan pendirian Darul Falaah ini ialah melahirkan ahli agama yang mahir bertani. Santri atau lulusan pesantren ini tidak hanya bisa berceramah di mimbar, namun juga memberi penyuluhan atau pelatihan bercocok tanam yang baik ke masyarakat. Saat ini, Pesantren Darul Fallah semakin berkembang dengan membuka beragam program kompetensi khusus dengan corak agrikultural.

Gerakan pemberdayaan ekonomi masyarakat, khususnya petani, juga diusahakan oleh persyarikatan Muhammadiyah. Apalagi posisi tawar petani di Indonesia masih terhitung rendah, jika dibandingkan dengan sektor lainnya. Untuk itu, Muhammadiyah menginisiasi Gerakan Petani Bangkit (m.muhammadiyah.or.id).

Menurut pangkalan data di Kementerian Agama RI, di Sulawesi Barat terdapat 74 pondok pesantren. Peluang merintis pesantren pertanian ini masih terbuka. Walaupun sekolah menengah bahkan perguruan tinggi pertanian telah berdiri, namun segmentasi pesantren lebih spesifik dengan kompetensi lulusan yang khas. Atau, dapat saja sejumlah pesantren yang telah berdiri menjalin kerjasama atau sinergi dengan sekolah pertanian yang ada agar santri mendapatkan tambahan wawasan, bekal keterampilan, dan pengalaman. Di antara keuntungannya ialah kebutuhan sayur di pesantren dapat dipenuhi sendiri, bahkan dapat dikembangkan menjadi unit bisnis atau agrobisnis.(Lanjut ke Halaman 2)