MAJENE, mandarnesia.com — Cafe Tbink Majene tampak mulai sibuk seperti biasa. Disela kunjungan puluhan pengunjung yang datang berkelompok Sabtu, (7/5/2022), salah satu sudut favorit yang menghadap ke area dermaga atau pelabuhan Majene juga menampung keasyikan berbeda.
Sebuah barung-barung yang dapat disesaki empat orang disanggah geber atap rumbia. Cerek ‘Makka’ keemasan berisi kopi susu mengepulkan uap, juga perdu berdauan rimbun. Seolah didesain menjadi backdrop acara. Tanpa spanduk, di sinilah ripuh komunitas ini akan dilanjur.
Aqba Tammalele, ‘Rektor’ Universitas Alam Raya (Ular) menjadi peserta paling awal yang datang. Ia berbincang bersama Dahri Dahlan dosen muda Unmul Samarinda, dan beberapa sanak keluarganya yang datang menghabiskan sisa liburan mudik di tempat ini. Puluhan lampu pijar bergantungan memendar suasana seperti 1000 kunang-kunang.
Bakda Isya di warung yang menyediakan ragam menu andalan ini, bakal digelar semuka pegiat literasi dan aktivis sosial lainnya. Tema besar reuni ini, semacam hibernasi setelah pandemi Covid berlalu. Beberapa menit kemudian hadir pula Adi Arwan Alimin, komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Sulawesi Barat yang dikenal aktif dalam kampanye gerakan literasi. Ia mengebut sepeda motor bebek dari Galung Lombok.
Setelah berbincang awal dan menikamti suguhan menu pembuka, tak lama berselang, datang pula Bustan Basir Maras, antropolog yang kini memimpin koordinasi keluarga harapan level provinsi. Program ini dijalankan kementerian sosial yang melibatkan ratusan tenaga pendamping di berbagai wilayah di Sulbar. Bustan pun masih aktif menulis dan keliling berdiskusi.
Tuan rumah reuni Ular ini, Ahmad Akbar sejak lama mondar-mandir. Tak hanya ripuh menanti peserta, ia pun giat melayani tetamu lain yang datang silih berganti. Ahmad owner T-Bink.
Sesekali ia menyervis sang rektor, Aqba Lele. Hingga jamuan soto ayam yang disuwir disajikan bareng ketupat yang ukurannya cukup padat. Ini menu pembuka yang hangat-hangat kuku.
Qadry, Fathana, Rauf Romanisti, Subhan, dan yang lain datang menyusul. Setelah reuni tanpa protokol ini berlangsung, Opy Muis Mandra yang menyetir dari Sendana hadir pula. Ia menunjukkan antusiasnya mesti harus membawa anggota keluarganya.
Qadry, Fathana, Rauf Romanisti, Subhan, dan yang lain datang menyusul. Setelah reuni tanpa protokol ini berlangsung, Opy Muis Mandra yang menyetir dari Sendana hadir pula. Ia menunjukkan antusiasnya mesti harus membawa anggota keluarganya.
“Jangan membayangkan model reuni yang mainstream itu. Beberapa pihak menilai bahwa agenda ini bakal digelar dalam seremoni ala reuni, namun di sini kita akan membahas sejauhmana hakikat kemanusiaan, karena itu bagian dari pembelajaran tanpa akhir.” Sitir Aqba Lele ketika menyampaikan beberapa argumen penting, baik yang dikemukakan melalui bahasa Indonesia maupun dalam bahasa Mandar. Ia memantik dengan apik.
“Setelah ditanya beberapa orang, saya bilang Ular ini memiliki fakultas kejujuran, dengan jurusan keadilan. Model mata kuliahnya adalah setiap situasi sosial yang terjadi di sekitar kita. Jadi siapapun boleh menjadi ‘mahasiswa’ di sini, karena hakikatnya seperti itu,” imbuh budayawan senior ini. Imbuhan yang disambut riuh orang-orang yang menyimaknya.
Forum yang berlangsung santai itu, dikelola sebagai roundtable di mana setiap orang yang hadir memiliki hak dan kesempatan berbicara secara setara. Bahkan beberapa peserta didaulat khusus untuk mengembangkan pikiran yang dikemukakan.
“Bagi saya forum semacam ini meski belum berbentuk formal, tetapi ini menjadi penting dan perlu kita tanggapi secara serius. Saya menyarankan agar Ular memiliki jadwal khusus atau terstruktur agar kita terus menjaga kebersamaan juga keprihatinan yang sama,” papar Opy yang merupakan putra budayawan Mandar, A. Muis Mandra.
Bagi Bustan Basir Maras, perkumpulan informal semacam Ular yang menyembul sebagai komunitas baru namun dipenuhi para intelektual muda dari beragam bidang profesi, seperti kumpul-kumpul informal di Malioboro Jogyakarta yang dipimpin Presiden Persada Studi Klub (PSK) Umbu Landu Paranggi. Wadah bagi para penulis masyhur seperti Emha Ainun Najib atau Cak Nun,
Linus Suryadi AG, Iman Budhi Santosa, juga Korrie Layun Rampan, Achmad Munif tumbuh.
“Intinya Jogyakarta dikepung tingkrongan yang pembelajar, PSK bukanlah institusi formal hanya kumpulan nongkrong era tahun 1960-1970, namun yang hadir di dalamnya orang-orang pembelajar. Bukan makna sebagai sekolah tetapi pembelajar yang luas. Saya melihat Ular ini juga akan demikian, tapi ini memerlukan konsistensi dan pelanaran yang harus berkualitas,” kata Bustan Basir Maras.
Dalam pandangan Adi Arwan Alimin, dari sisi filosofi. “Saya mengapresiasi istilah Ular ini, sebab Mandar memang memiliki mitologi atau kearifan mengenai ‘Memmata Di Sawa; sumpah dalam assitaliang Pitu Ulunna Salu dan Pitu Baqbana Binanga. PUS memiliki tanggung jawab menghalau musuh di daratan, sementara PBB diberi amanah ‘Memmata Di Mangiwang’ menjaga musuh yang datang dari lautan.”
Sawa berarti jenis ular piton, sedang Mangiwang merupakan ikan hiu. Bagi Adi Arwan, “Sawa-Mangiwang” dalam perkembangannya mesti dimakna lebih luas lagi. “Orang-orang dahulu telah mewariskan konsep luar biasa yang mereka hormati sepenuh hati, tugas kita hari ini mesti menjaganya dalam kearifan dan nilai-nilai sosial yang baru.”
Pertemuan jeda. Tuan rumah meminta berkumpul untuk menikmati makan malam. Ada bakwan khas Tbink, ikan asin omber, dan cumi yang dimasak ala Mandar, juga beberapa bakul nasi. Usai menikmati menu ini, Labib dan Yamani putra Ahmad Akbar menampilkan pertunjukkan. Labib memukul gendang, sedang Yamani menampilkan atraksi teaterikal. Ritme tabuh gendang apik sekali. Belasan yang hadir memberi tepuk tangan seusai Yamani membungkus tubuhnya dengan lipaq saqbe berwarna merah.
“Sesungguhnya kita bertemu karena satu hal penting. Kita datang dari rasa prihatin dalam melihat banyak hal selama ini. Saya berharap Ular dapat menjaga ritmenya, hingga kita dapat melakukan perhatian yang makin bermanfaat, tidak hanya bagi komunitas ini. Tetapi juga bagi daerah. Istilahnya bagaimana kita mampu ‘marrundang Majene’ secara khusus, dengan berbagai ide dan aksi nyata, karena itulah yang membuat kita saling bertemu…” ujar Umar Al-Qalam salah satu penggagas reuni ini. Ia sehari-hari bekerja sebagai Kepala Madrasah Al-Qalam Teppo, Majene.
Umar datang telat, sebab masih harus mengurusi acara halal bihalal di lingkungannya. Jarak Teppo sekitar empat kilometer ke Tbink, serasa gapahgopoh ‘kepala distrik’ ini semangat menjadi pembicara penutup.
Rendezvous para pegiat literasi dan aktivis sosial dari berbagai wilayah ini berlangsung hingga jelang pukul 24.00. Mereka kumpulan ‘guru-guru’, dan mahasiswa yang sepertinya bakal tidak pernah selesai belajar di universitas kehidupan alam raya. Komunitas yang sedang mendesiskan pesan kearifan, mengusung karya, dan menuas respons konstruktif pada keprihatinan sosial.
Di bawah rinai gerimis, dan gelegar guntur di kejauhan mereka kembali rumah masing-masing. Mereka berjanji bakal reuni lagi… (*)
Di bawah rinai gerimis, dan gelegar guntur di kejauhan mereka kembali rumah masing-masing. Mereka berjanji bakal reuni lagi… (*)
Onang, 8 Mei 2022