Pande Bulawang, Jejak Sakka’ Manarang yang Terlupakan – Bagian 10

Mengungkap Pusat Peradaban Balanipa – Sendana – Penguatan Identitas, Kebhinekaan dan Kemaritiman Mandar

Reportase Muhammad Munir

 

Matahari sudah mulai menyengat ketika kami akhirnya harus turun dari bukit pemakaman Buyung. Dalam perjalanan pulang, Pak Budi terus saja melakukan pengintaian ke semua arah mulai dari ujung perkampungan Pande Bulawang sampai ke rumah Abdul Wahid.

Bojes Tambono dengan setia menemani para peneliti dalam rombongan kami. Adam (penjaga makam Todilaling) awalnya menawarkan untuk istirahat di rumah tantenya yang ada dekat jalan masuk ke pemakaman Buyung. Tapi informasi Bojes Tambono rupanya membuat tertarik para tim ahli untuk mengorek keterangan terkait obyek yang kami sasar.

Bojes menyarankan untuk bertemu dengan Ayahandanya yang dikenal sebagai sesepuh di kampung Pande Bulawang. Maka jadilah kami beristirahat di rumah kediaman Bojes yang tak lain adalah adik kandung Muhammad Adil Tambono, praktisi kebudayaan dan pelaku seni di Sulawesi Barat.

Dalam perjalanan ke rumah Bojes, Budianto Hakim menemukan jejak perkampungan tua yang ditandai dengan sejumlah singkapan keramik atau porcelin dan gerabah di kebun-kebun warga. Tim akhirnya sepakat untuk melakukan ekskavasi atau Testpit di kampung Pande Bulawang ini.

Muhammad Amir dan Abdul Wahid (70 tahun), Tokoh masyarakat Pande Bulawang,

Rencana ekskavasi setelah makan siang. Di rumah Abd. Wahid (70 Tahun), ayah Bojes dan Adil Tambono kami makan siang bersama tim sambil berdiskusi. Setiba di rumah Bojes, Supriadi dan Hapni muncul. Pasangan suami istri yang berlatar guru sejarah ini adalah tim lokal yang dilibatkan dalam penelitian ini. Ia sekaligus bertanggung jawab untuk mengurus catering para peneliti sampai ke lokasi.

Pada saat acara makan siang, Adil Tambono muncul. Kedatangannya kemudian membuat diskusi menjadi serius sebab Adil dan bapaknya rupanya banyak mengetahui kotak Pandora dibalik obyek yang kami riset di kampungnya. Dari Abdul Wahid, kami berhasil mengorek keterangan tentang Saleko dan Buyung. Menurutnya, Toponimi Saleko berasal dari kata leko atau belok.

Konon, ada seorang pendatang di Napo dan bertanya posisi kampung yang ada di sekitar kaki bukit Lapuang, tempat makam Todilaling. Jawaban masyarakat terhadap penanya itu sambil mengatakan leko atau belok kearah jalan yang membelok itu. Sejak itu masyarakat menyebut kampung tersebut sebagai Saleko.

Lebih lanjut Abdul Wahid menjelaskan tentang sosok yang menjadi pemimpin utama di Saleko Buyung. Ia mengatakan bahwa keduanya adalah saudara kandung yang lahir dalam kondisi sikopa’ (berhadapan) dan keluar bersamaan. Setelah lahir keduanya diberi nama I Andada dan I Lopa.