SEMALAM saya menerima undangan ngobrol dengan beberapa senior di Makassar. Di salah satu kafe yang cukup ramai. Saya datang hampir jam 21.00 dipandu Maps.
Sebenarnya sejak malam kemarin, tapi baru tunai semalam. Saya menyeruput coffee latte, mau pesan kopi batte nggak ada. Dua potong roti dari beberapa pilihan menu yang sudah baring di meja kayu tebal.
Obrolan ini berisi daging semua. Tanpa pernah membincang mengenai orang lain, kecuali kebaikan dan prestasi luar biasa yang menginspirasi. Termasuk cerita tentang rekan mahasiswa paling miskin diantara mereka saat kuliah.
Tapi kini amat terpandang dalam pencapaian sebagai mahasiswa yang tekun belajar, tidak gengsian, dan lebih banyak makan kangkung tumis dari kolam depan kos-kosannya.
“Pekerja keras, hanya itu yang dapat saya katakan. Dia memang pekerja keras sejak kuliah, dan dia sungguh-sungguh ingin melawan kemiskinan yang dihadapinya.”
Senior yang satu, yang cukup lama bekerja di Jepang banyak mendaratkan ayat-ayat Al-Quran dalam rendezvous semalam. Dari dia saya menemukan kosa kata Mandar sebelum istilah Kalanjo, yakni unar. Bahwa sebuah pencapaian selalu dimulai dari hal paling ringan, kecil dan mungkin biasa di mata orang lain.
“Tapi muaq mikkedo Puang bandi tau, maka kita akan terus berusaha, tiada kata berhenti. Sebab Puang tuU tia tidak pernah menggadaikan idealismenya sebab itulah harga dirinya.”
Dia melihat kemunduran berpikir sebagian besar orang saat ini, sebab tidak memiliki minat pada pengetahuan. Karena godaan instan hingga sangat kurang membaca. Sementara hari ini aksesibilitas pada pada buku, misalnya jauh lebih mudah dibanding zamannya.
Senior satu ini juga seorang akademisi yang amat gusar. Sebab kurasi konten terus melunturkan daya serap, daya kritis orang-orang yang ditemuinya di kelas.
180 menit percakapan tanpa ada yang menyentuh HP selama itu maujud cara bertemu beradab, dan bercakap-cakap sarat bermakna. Kekinian yang blur sementara kehadiran platform streaming, games, dan media sosial makin padat merayu seperti candu.
~dengadi, 2025