Oleh Adi Arwan Alimin (Penulis)
BUKU ibarat halaman-halaman yang memanjang tak terbatas. Setiap helai lembarannya menuang seluruh gagasan dan pengalaman batin para penulis yang diserapnya dari realitas kehidupan. Buku menjadi media menyimpan ingatan, dan membenamkan pengetahuan tak ternilai. Di sanalah meruah ilmu digali, dan dikaji setiap kesempatan.
Bagi peminat dan pembaca buku, sebenanrya tiada istilah Hari Buku. Itu hanya ditujukan untuk terus mengingatkan setiap orang mengenai panduan pengetahuan tempat kita mengikat makna dan menjalankannya dalam moralitas sebagai manusia. Awalnya buku lahir sebagai kemewahan para intelektual, tidak setiap orang pada mulanya mampu membeli atau memiliki buku. Namun sejarah terus berkembang, hingga buku diterbitkan berkala di sekitar kita.
Buku sebagai sumber pengetahuan telah dikenal ribuan tahun silam, dalam wujud gulungan kertas papirus sebagaimana kebiasaan orang-orang Mesir sekiar tahun 2400-an SM. Ada pula yang menyebut buku telah ada sejak zaman Budha di Kamboja. Selama berabad-abad ilmu pengetahuan ditulis pada berbagai medium, termasuk lidi, bahkan daun lontar. Di Sulawesi Selatan dan Barat kita mengenal Lontar sebab ingatan, dan sejarah pengetahuan manusia kala itu dituangkan di atas lontar.
Hingga 200-an SM setelah Tsai Lun menemukan kertas dari bahan dasar bambu. Sejak itu wujud buku yang kita kenal saat ini berubah, dan memberi pengaruh amat besar bagi dunia. Pedagang-pedagang muslim lalu membawa teknologi pembuatan kertas ini dari Tiongkok ke Eropa sekitar abad XI, dari sinilah industri kertas berkembang lebih maju. Dengan kertas yang lebih ringan terciptalah buku.