Tugas utama mereka adalah mengatur pendaratan Letnan Abd. Hae dan Letnan Buraera mewakili Letnan Muhammad Amier, Komandan Pelopor ALRI-PS I Mandar untuk mengatur dan membentuk ALRI di daerah Mandar. Rombopngan ini membawa 100 buah granat tangan buatan Jepang.
Pada tanggal 12 November 1946, Letnan Abd. Hae, Letnan Buraera, Sersan Adam Ammana I Biding dan lainnya berangkat dengan menggunakan perahu Lete Fathul Jannah dan tiba dengan selamat di Soreang Majene pada tanggal 17 November 1946. Rombongan kedua ini membawa senjata api pistol, sebuah mesin tik dan sebuah stempel Angkatan Laut Republik Indonesia yang disahkan oleh Markas Besar ALRI Lawang.
Dengan mendaratnya Letnan Abd. Hae dan Letnan Buraera bersama segenap anggotanya di daerah Soreang, Majene membuktikan bahwa ALRI hadir secara nyata dan berjuang melawan Belanda di Mandar bersama para pejuang dari GAPRI dan KRIS MUDA. Letnan Abd. Hae dkk adalah sosok yang telah berhasil menunjukkan eksistensi ALRI di Mandar. Ia sosok yang rela mati untuk mempertahankan kemerdekaan.
Di Kampung Nuta, Desa Simbang Kecamatan Pamboang menjadi saksi nyata berakhirnya perjuangan dan pengabdian Abd. Hae untuk bangsa ini. Ia tewas di tangan serdadu atau pasukan Westerling. Jenazahnya dibawa ke Galung-Galung, Ibu kota Kecamatan Pamboang dengan hanya dibungkus daun kelapa layaknya buah nangka.
Abd. Hae gugur dengan hanya menggunakan celana pendek berwarna hitam, baju hitam, sarung sutra Mandar sure’ padada dan kopiah merah yang diujungnya melekat lencana merah putih kecil.
Pada bagian dadanya tergantung seperangkat azimat yang dibungkus dengan kain merah putih. Isi bungkusan azimat itu dirobek oleh serdadu KNIL yang diperbantukan ke pasukan Westerling.
Jenazah Abd. Hae diperlakukan secara tidak manusiawi oleh pasukan Belanda. Pada mulutnya dimasukkan puntung rokok yang masih menyala dengan injakan kaki. Generasi dari tokoh pejuang Mandar ini adalah Mapri Hae yang sekarang berdomisili di Kecamatan Wonomulyo
Abd. Haliem AE
Abd. Haliem Ambo Edo adalah tokoh pejuang berlatar belakang pendidik. Ia lahir di Majene pada tanggal 18 September 1926. Haliem juga dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah jebolan “Muallimin Kweekschool” Tingkat Atas Muhammadiyah Makassar.

Selain sekolah formal, ia juga mengikuti Kursus Tata-Buku & Niaga. Haliem terdaftar sebagai anggota Korps Angkatan ’45 Sul-Sel dan berstatus Veteran/Pejuang Kemerdekaan RI dengan nomor bisluit NPV: 54560/P.
Haliem dikenal memiliki sejumlah pengalaman di bidang politik. Hal itu ditandai dengan keaktifannya secara non-absent dalam pimpinan Badan-Badan Perjuangan Kemerdekaan di Mandar yang turut serta dirintisnya dari tahun 1945-1949.
Karier politiknya mulai dari Pemuda Republik Indonesia (PRI) sampai masuk Partai Nasional Indonesia (PNI) lalu kemudian menata diri di Partai Kebaktian Rakyat dan seterusnya meleburkan diri dalam pergerakan Partai Kedaulatan Rakyat (PKR).
Selain terlibat langsung dalam kegiatan kepartaian, ia juga merupakan tokoh sentral dalam ikut membidani kelahiran Badan Permupakatan Nasional (BAPNA).
Pada tahun 1952 ia mulai meninggalkan dunia partai meski tetap bergerak dan berjuang melalui jalur non political party hingga akhir hayatnya.
Dalam dunia perjuangan kelasykaran tahun 1945-1949 (di Mandar), ia juga bergabung anggota Kris Muda dan anggota ALRI Seberang Armada IV Jogyakarta sebagai Komando Pertahanan ALRI Jawa.
Dalam bidang ekonomi pun tak bisa diremehkan, sebab sejak tahun 1946-1960 ia bahkan jadi pimpinan rangkap sebagai Anggota Dewan Direksi/Direktur/Ketua Perusahaan Nasional di Mandar yang turut-serta didirikannya, yaitu Pusat Pedagang Mandar (PPM) Tahun 1946-1951, Pustaka Rakyat (1948-1957) “IHT Mandar Trading Company (MTC/1951-1954) Bank Koperasi JELATA (1953 1958), Koperasi Kopra BUDI (1954-1960) Gabungan Pengusaha Mandar (GAPMA/1954-1956) Fa. PURMA Trading Coy (1957-1960).