Mengurai Sejarah Awal Kerajaan Sendana

Makam Tomesaraung Bulawang
Makam Tomesaraung Bulawang

Tak ada yang dipanggil daeng, karena bangsawannya. Kecuali antara bangsawan itu sendiri yang berarti kakak atau gelar pada awal nama bangsawan tersebut. Pada saat bangsawan bersaudara sebagai pemilik mutlak kepemimpinan dan kekuasaan dalam masyarakat tidak sependapat, dalam soal mekanisme kepemimpinan dan personil pemangku jabatan atau kepemimpinan.

Mereka mengangkat salah seorang dari saudara  kandungnya sendiri menjadi tonipattongang loa (yang perkataannya mutlak dibenarkan) dengan gelar tommemara’dia (orang yang diagungkan yang dianggap mara’dia). Antara tonipattongang loa dengan para kaum adat yang terjalin ketentuan (Bahtiar, 2014).

Organisasi kekuasaan yang dipimpin Daeng Tumana diserahkan kepada adiknya, Daeng Palulung. Istilah bawa tau berubah menjadi pappuangan atau puatta dalam struktur Tomemmara-mara’dia.

Namun dalam perkembangannya, pusat kerajaan dipindahkan dari Sa’adawang ke Podang, organisasi pemerintahan dijalankan oleh Puatta I Podang mengusulkan untuk membentuk lembaga adat yang bertugas membantu mara’dia dalammengendalikan pemerintahan, mulai dari perumusan kebijakan sampai kepada permasalahan yang muncul harus diselesaikan di tingkat lembaga adat.

Dari sini kemudian muncul berbagai struktur pemangku adat di berbagai daerah di lingkup kerajaan Sendana,

Adapun para pemangku adat tersebut adalah Puatta’ I Sa’adawang menjadi Pappuangan di Putta’da, Tomakaka’ di Tallambalao, Tosibawa ada’ di Limboro Rambu-rambu, Mara’dia (semula pappuangan) di Paminggalang, Pappuangan di Awe’, Tomakaka’ di Banua Bawi di Buttu Karama, Pue’ di Talongga, Pue’ di Lomo Tippulu, Pannaranarang di Pattangngarang Sappalatta, Tomanjannangngi di Awo’ (semula mara’dia Puttanoe’), Puatta I Buja di Onang/Baturoro, Pue’ di Balanggitang di Salutambung Tubo, Pue’ di Sambabo, Tomakaka’ di Ulumanda’, Pue’ di Lombong dan Tomakaka’ di Mekkatta (Mandra, 1991; Bahtiar, 2014) Dalam perjalanan sejarahnya, struktur ini mengalami perubahan yakni Puatta di Podang sebagai pimpinan adat, Mara’dia Mosso di Mosso, PUatta’ Lambori di Somba, Mara’dia Limbua’ di Laka’ding, Pa’bicara Tangnga di Palipi, Mara’dia Tammero’do di Tammero’do, Maradia Onang di Onang dan Mara’dia Tubo di Tubo (Mandra, 1991; Bahtiar, 2014).      

Selain perubahan struktur diatas, terjadi juga perubahan status pada hampir semua struktur adat, yang tadinya pa’bicara berubah fungsi dan statusnya meski tetap menjadi anggota ada dan penentu dalam setiap permusyawaratan yang dilaksanakan di kerajaan (sebagai anggota biasa).