Sebagai penulis hari ini mesti bijak mengarifi perbedaan baik obyek yang ditulis maupun orang-orang yang pernah menuliskannya. Perbedaan antara Abd. Muis Mandra, Kallang Sadaid, Syaiful Sinrang, Abd. Hamid Bola maupun Darmansyah. Perbedaan itu rahmat, itu pesan Rasulullah.
Jangankan Sendana, Mandar saja sampai hari ini belum melahirkan kesepakatan yang mesti jadi acuan, semua masih beririsan dengan cerita tutur yang berbeda dari Pitu Ulunna Salu sampai ke Ba’ba Binanga. Parahnya, sebagian etnis di wilayah ini bahkan ada yang mengklaim diri bukan Mandar (bukan bagian dari Mandar).
Bermula dari sebuah tempat bernama Ulu Sa’dang, moyang Mandar mulai ditulis bernama Tokombong di Bura orang yang diturunkan dari langit, dia yang dinikahi oleh Tomanurung dan melahirkan Tobanua Pong.
Tobanua Pong melahirkan beberapa anak yang tersebar di Sulawesi, salah satunya adalah Tasudidi yang melahirkan anak bernama Sibannangan yang pergi ke Mamasa dan Massupu; Pongka Padang kawin dengan Sanrabone. Dari Pongka Padang dan Sanrabone ini lahir Belorate yang diperistri oleh Tomiteeng Bassi melahirkan Daeng Lumale’. Dari Daeng Lumale’ inilah lahir 11 orang anak yang salah satunya adalah Daeng Tumana.
Demikanlah seterusnya sampai ke Daeng Palulung (Mandra, 1986; Leyds, 2006; Bahtiar, 2014). yang kelak berkembang sebagai peradaban Sendana.
Jika sebelumnya anak Daeng Palulung dari Tomesaraung Bulawang ada empat, pada tulisan Abdul Muis Mandra, 1986 sebagaimana dikutip oleh Bahtiar (2014) menyebutkan Daeng Palulung punya anak satu orang bernama Puangnga.
Puangnga ini melahirkan 15 orang anak yang masing-masing bernama Tandu’ Daeng Pasolo, Daeng Mangana’, Taulla, Tarangga, Tamatta, Daeng Marakka’, Daeng Tulolo, Badorra, Tadara’, Rumung, Yallo, Daeng Sirua, Tanditia, Mako’ dan Paturung. Daeng Sirua ke Saragiang yang kemudian melahirkan Puatta di Saragiang yang menikahi sepepunya sehingga lahir anak bernama Idong yang menikah dengan Puttanginor.
Dari Puttanginor lahirlah Puatta di Alu yang menikah dengan sepepunya (tak diketahui namanya. Puatta di Saragiang memiliki dua orang saudara bernama Banong yang bergelar Daeng Majannang dan Rumung. Banong Daeng Majannang pergi ke Peurangan dan menikah disana (tak diketahui namanya) yang melahirkan Tomesorawa dan Manyang yang bergelar Daeng Patombong. Daeng Patombong ke Alu dan melahirkan anak bernama Puatta I Ku’bur yang kelak menjadi Mara’dia Sendana.
Struktur Pemerintahan Kerajaan Sendana
Sebutan gelar atau semacamnya di suatu kerajaan menandakan dari mana gelar itu berasal, meskipun di beberapa kerajaan ada kesamaan. Seperti di awal pemerintahan Kerajaan Sendana yang dikenal dengan nama puang atau ipung, karena mereka bersumber dari satu dinasti atau silsilah.