“Jika ada Nabi setelah Muhammad, yang cocok itu Cokroaminoto,” kalimat itu tertulis di memori otak saya sewaktu saya masih kecil, masih SD. Dituturkan bapak saya, Alimuddin. Saya menyapanya Papa’. Dikamarnya terpasang poster sosok pendiri Syarikat Islam itu. Kumis Cokroaminoto khas, tebal, lancip ke samping.
Bagi anak kecil, kalimat itu mungkin tak terlalu berkesan. Siapa pula itu Cokroaminoto? Berbeda dua dekade kemudian, ketika saya kuliah di Yogya. Membaca biografi beberapa tokoh, khususnya para pendiri bangsa, Cokroaminoto memiliki peran sentral. Dia guru dari pendiri bangsa lain, misalnya Soekarno, Muso, Kartosuwiryo, dan lain-lain. Cokroaminoto dan Syarikat Islam-nya tak bisa dilepaskan dari perjalanan bangsa ini. Bagi saya pribadi pun demikian. Ideologi politik sadar tidak sadar dipengaruhi Syarikat Islam; profesi saya sebagai jurnalis demikian halnya. Syarikat Islam didirikan oleh Tirto Adhi Surya (jurnalis yang mendirikan surat kabar pertama berbahasa Indonesia, Medan Prijaji) bersama Cokroaminoto. Sadar tidak sadar, kebetulan atau tidak, tak lepas dari kata-kata bapak saya itu.
Bapak saya bukan politikus, bukan bangsawan, bukan budayawan. Kesehariannya, sejak masih muda, disibukkan membuat perhiasan emas dan perak di Pasar Tinambung. Lahir 1940 di Mombi, desa kecil di Kecamatan Tutallu (sekarang Kecamatan Allu, sekitar 15 km dari perempatan Tinambung).
“Ibu bapakmu dan ibu saya selain berkerabat juga bersahabat. Sewaktu berumur lebih sepuluh tahun, bapakmu dititip ke ibu saya. Ada yang bilang, anakmu ini akan baik kalau tinggal bersama keluarga yang baik, tapi kalau tetap tinggal di Mombi, bisa jadi dia menjadi anak nakal. Teringat pesan itu, bapakmu dibawa dari Mombi ke Tinambung,” cerita St Rahma, ibu saya, seperti dikutip dari ridwannews.com.
Mombi di tahun 40-an tak seperti sekarang. Mombi kawasan rawan, daerah pendukung Kahar Muzakkar. Bapak saya lahir di situ, di lingkungan orang-orang yang tersinggung sedikit saja “siriq-nya” akan langsung baku tikam. Tak mau anaknya seperti itu, bapak saya dimasukkan ke “sekolah arab” di Calo-calo, Tinambung, di samping rumah orang tua angkatnya.
Kakek dan nenek saya adalah orang tua dari paman saya, budawayan Mandar, Suradi Yasil. Tamat MIS DDI, bapak lanjut ke level lebih tinggi, tsanawiyah. Dia seangkatan dengan Prof. Rahman Halim, mantan Kanwil Agama Provinsi Sulawesi Selatan.
Meski kemerdekaan diproklamirkan 1945, satu dua dekade kemudian suasana belum aman di Mandar. Pemberontakan DI/TII adalah lembaran hitam di Mandar, masa-masa mencekam.
Tamat tsanawiyah, bapak tidak lanjut. Dia memilih menjadi murid Yasil kakek saya yang bekerja sebagai pandai emas. Lama hidup di rumah kakekku dan dianggap anak sendiri, bapak dinikahkan dengan salah satu anaknya, St. Rahma, yang belakangan menjadi guru TK Nusaputera Tinambung (bagian dari Yayasan Syarikat Islam).
[perfectpullquote align=”full” cite=”” link=”” color=”” class=”” size=””] “Kami menikah tahun 1968. Dulu itu pengantin laki-laki berangkat dari Camba-camba tapi singgah dulu di rumah pak Murad, sahabatnya tak jauh dari jembatan Sungai Mandar. Metindornya dari situ, lewat depan Mesjid Al Hurriyyah Tinambung kemudian ke arah Calo-calo. Saat remaja, mereka sama-sama aktif di Pemuda Muslim, ketika dewasa kembali bersama-sama di Syarikat Islam,” cerita ibuku. [/perfectpullquote]
Pak Alimuddin tak pernah tampil di depan, dia lebih banyak di belakang. Memberi suport, baik moril maupun materil ke perjuangan. Salah satu karibnya dari dulu hingga kini adalah Nurdin Hamma, tokoh Syariat Islam di Mandar dan salah satu eksponen perjuangan pembentukan Provinsi Sulawesi Barat.
“Meski tak ada jabatan di organisasi, dia itu anggota yang sangat aktif. Setiap ada kegiatan organisasi selalu ikut, bersepeda ke mana-mana. Kalau ada kegiatan partai di rumah, rokok makanan selalu siap. Beberapa temannya yang belum mapan pendapatannya, dia bantu,-bantu” cerita salah seorang sahabatnya.
Bersambung…