Mengapa Kita Mempercayai Hal Tak Masuk Akal?

(Resensi Buku Supersense karya Bruce Hood)

Oleh: Fiqram Iqra Pradana (CEO Manabrain Institute)

Buku ini adalah salah satu buku sains popular yang diterbitkan ulang dalam bahasa Indonesia oleh penerbit CV. Globalindo Manado pada Februari 2020. Diterjemahkan dari SuperSense: Why We Believe in the Unbelievable. Oleh Hendy Wijaya. Terdiri atas 416 halaman dan 10 chapter pembahasan.

Buku ini ditulis oleh Bruce Hood. Menurut informasi dari Wikipedia, Bruce MacFarlane Hood adalah seorang psikolog dan filsuf eksperimental Inggris kelahiran Kanada yang berspesialisasi dalam ilmu saraf kognitif perkembangan. Dia saat ini berbasis di University of Bristol dan minat penelitian utamanya meliputi intuitif, identitas diri, esensialisme, dan proses kognitif di balik pemikiran magis orang dewasa.

Tesis Bruce Hood dalam buku ini ialah bahwa keyakinan supranatural merupakan hasil desain pikir alamiah manusia. Sementara kultur dan agama bagi Bruce Hood hanya bertugas untuk memfasilitasi keyakinan-keyakinan supranatural yang sudah ada dalam pikiran kita sendiri.

Pendahuluan

Saya ingin mengawali perbincangan kita dengan sebuah kabar baik. Kabar baik itu adalah sebuah kecenderungan anak muda milenial  saat ini yang gandrung pada literasi sains populer dengan istilah sebagai saintifisme.

Sebuah identitas baru yang menurut saya positif, mengadopsi bahkan menjadikan pijakan berpikir seseorang dari landasan ilmiah yang merupakan syarat baku dalam dunia Sains. Sebenarnya apa pengaruh positifnya belajar sains? Sangat sederhana jawabannya, membiasakan kita berpikir rasional dan selalu merujuk bukti ilmiah. Apa pentingnya bukti ilmiah? Sebagai landasan kebenaran dari hukum alam yang berlaku.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesatnya tentu mendukung makin menjamurnya saintifisme tersebut. Namun, secerdas apapun kita, mengapa selalu ada hal-hal yang tidak masuk akal yang tetap kita percayai? Sesederhana, memiliki benda keberuntungan atau percaya pada ramalan zodiak. Kalau kita tarik lebih jauh ke tradisi sebuah daerah misalnya Mamuju ada yang disebuh sebagai pamali. Nah, pertanyaan tersebut akan dijawab dalam buku ini.

Supersense

Adanya kecenderungan manusia untuk mempercayai hal-hal supranatural atau gaib. Banyak individu berpendidikan tinggi dan cerdas mempunyai perasaan, atau sense, yang kuat tentang adanya pola-pola, kekuatan, energi, dan entitas di dalam dunia fenomena alamiah yang bisa kita pahami.

Perlu ditekankan disini bahwa perasaan-perasaan seperti itu tidak didukung oleh sejumlah bukti yang bisa dipertanggungjawabkan, dan oleh sebab itu disebut supranatural dan tidak ilmiah. Kecenderungan untuk menganggap hal-hal seperti itu sebagai sesuatu yang riil kita sebut supersense.

Keyakinan supranatural (gaib) yang dimaksud dalam buku ini tidak hanya sebatas keyakinan yang diproduksi oleh agama. Lebih luas dari itu, ia juga menyebut adanya keyakinan supranatural yang bersifat sekuler, yaitu keyakinan irasional seperti percaya terhadap kemampuan paranormal, kekuatan cenayang, telepati atau berbagai fenomena lain yang tidak bisa dijelaskan dengan hukum alam.

Desain Pikir Alamiah Manusia

Desain pikir manusia adalah gambaran terkait bagaimana cara otak manusia bekerja. Secara alamiah, otak manusia gemar membayangkan sekaligus mengorganisasi pola-pola dibalik sebuah peristiwa. Sulit baginya untuk membiarkan persitiwa yang ada dihadapannya sebagai sesuatu yang berantakan dan tanpa tujuan.

Melalui desain pikir seperti itulah, terutama ketika faktor penyebab suatu peristiwa gagal ditemukan, manusia kerap kali jatuh dalam keyakinan supranatural. Mereka menyimpulkan adanya kekuatan tersembunyi dibalik gaibnya sebuah peristiwa.

Bruce Hood melihat bahwa keyakinan supranatural merupakan hasil dari desain pikir khas yang dimiliki oleh anak-anak. Secara naluriah, mereka meyakini bahwa benda yang ada dihadapan mereka memiliki roh, kekuatan dan perasaan layaknya manusia.

Pola pikir anak-anak bersifat dualisme (keterpisahan tubuh dan pikiran). Atau bisa juga disebut esensialisme. Anak-anak meyakini bahwa setiap makhluk hidup memiliki esensi atau energi hidup yang bersemayam ditubuhnya. Pola pikir ini dibawa hingga dewasa yang berbentuk sebagai sebuah obsesi mengoleksi berbagai benda (memorabilia).

Rasional Vs Irasional?

Kemajuan Iptek seharunya membuat kita makin rasional. Berpikir rasional memang butuh usaha lebih, karena kerjanya lambat, hati-hati dan penuh pertimbangan. Menurut Bruce Hood kita bisa mengoptimalkan kerja otak depan kita. Bagian otak inilah yang menjadi tempat berlangsungnya sistem kognitif seperti memori kerja, perencanaan, inhibisi dan evaluasi. Jika sering diasah, ia akan menggantikan sistem berpikir anak-anak.

Kita bisa meninggalkan semua sistem berpikir anak-anak pada pikiran kita, namun kita tidak pernah benar-benar membuatnya hilang dalam benak kita. Supersense memberikan rasa tenang kepada manusia ketika mereka berhadapan dengan ketidakpastian. Keyakinan itu juga dapat menjadi perekat dalam kehidupan sosial.

Menurut Sigmund Freud bahwa pikiran manusia ibarat fenomena gunung es. Pikiran sadar yang terlihat hanya 12% sedangkan yang tidak terlihat yang menjadi landasan dari supersense yaitu keyakinan, persepsi, intuisi, emosi, dll itu sebanyak 88%. Apalagi ditambah fakta bahwa sekitar 70 – 80 % manusia memanfaatkan emosinya untuk menjalani kehidupan.

Perspektif Resentor

Supersense atau keyakinan pada hal-hal yang tidak masuk akal menurut saya masih dibutuhkan untuk memberikan rasa tenang dari ketidakpastian kehidupan dan berbagai problematikanya. Keyakinan agama dalam bentuk keimanan pada Allah adalah sebuah kebutuhan. Keyakinan adalah sebuah pegangan atau jawaban sementara dari berbagai pertanyaan yang kita butuhkan dalam menjalani kehidupan ini. Terlepas bahwa keyakinan pada hal yang tidak masuk akal adalah alamiah dan bersifat bawaan.