Oleh: Sahabuddin Mahganna
Mengawinkan dawai dengan sastra tutur, menjadikan keduanya memiliki energi dalam kehidupan. Untuk konteks tradisi lisan: “Tidak ada sastra tutur yang lahir pada dawai yang putus”, sebaliknya, tak ada dawai yang mengalun pada sastra yang tersumbat”. Dawai-dawai mengalun sedemikian lihainya, karena sedang menanti sastra bertengger kepadanya. Sastra tutur sedemikian serunya, karena sedang menapakkan kakinya di bentang dawai. Sungguh “hubungan” relasi yang tak dapat diretas. Andi Agussalim AJ. 2022.
Cukup lama: Pergulatan bunyi petikan dari hasil akulturasi budaya, juga deretan irama yang bervariasi itu, mengalun merdu tanpa ada indikasi atau perencanaan awal mengenai dokumentasi sejarah dan eksistensi aksi. Perlakuan tanpa catatan tidak sekalipun menyurutkan niat baik pemain, secara serius mengikuti pendahulunya, dan semakin memperlebar tingkatan teknik maupun jenis materi lagu.
Terkhusus untuk melodi dawai, konon inspirasi didasari oleh hiburan, menjadi jalan untuk menguji keahlian individu dalam masyarakat. Rutinitas itu terjaga, memanfaatkan instrumen untuk penyampaian hasrat dan kesyukuran, sehingga petikan seolah menyusun kalimat, didengar seperti memiliki material untuk dikaji dan menyajikan bagian penting atau bahan telaah yang lebih dalam.
Sungguh “hubungan” ini mampu membawa kita menyikapi, bahwa kata akan lebih diresapi ketika alunan menyertai. Pada bagian itu, penyambung atau perekat sesama akan semakin erat. Inilah barangkali kekuatan yang sesungguhnya, bahwa dari dulu leluhur pasih menyampaikan sesuatu, selalu mengedepankan keindahan atau capaian keinginan yang lebih berarti, meski dengan intonasi.
Bentuk lontaran kalimat nan indah itu, secara lisan termuat demi harmoni tanpa potensi yang buruk. Contoh halus dalam jenis syair atau lagu Masaalah, Tere, Tolo’ dan Satire’ sehingga mereka cukup muda menarik perhatian pendengar akibat sajian isu-isu sosial paling utama. Kini, alunan-alunan itu akan kita temukan kembali dalam garapan atau lantunan eksotik Tandilo, Gambus, Losquen, dan Passayang-sayang.
TANDILO
Bunyian ini kerap dimainkan sebagai hiburan di masanya, baik itu ketika senggang menidurkan anaknya, lelaki pun memetik untuk sekadar berbahagia. Instrumen kadang menjadi hadiah dari ayah bagi perempuan yang masih muda demi mainan biasa atau pengingat masa lalu. Sepenggal kalimat lagu yang berulang dan begitu seterusnya, mengikuti alunan petik. Tandilo, dalam perjalanannya selalu mengiringi lirik yang dikenal Kalinda’da’ “Tallumbulammo Indo” atau ketika mereka sedang rindu akibat ditinggal oleh ibunya yang sudah tiga bulan. Instrumen sejenis Popondo, begitu sederhana, dalam dua utas kawat yang direntangkan dari rotan, tempurung Kelapa untuk ruang resonansi. Setiap memainkan Tandilo, posisi tempurung sebagai ruang resonansi selalu berada atau diletakkan tepat di bagian susu kiri, lalu untuk memetiknya menggunakan jari tengah, jari telunjuk, bentuk penyajian begitu berbeda untuk alat petik lainnya.
GAMBUS
Perkembangan Islam di Pesisir Mandar mempengaruhi orang-orang kreatif dalam alunan bunyi. Jauh sebelum keroncong tiba, hibrid gambus secara tunggal telah lama menjadi pendamping untuk hal-hal spritual, memuji Nabi Muhammad Saw, bererta keluaga dan para sahabat. Lewat petikan dan suara khas padang pasir, gambus lalu berkolaborasi dengan bunyi-bunyi khas mestizo, hingga dikenal banyak kelompok yang mengagumi. Perpaduan dua alunan semakin digandrungi, merubah pemahaman awam orang-orang lokal dalam menyambut bebunyian yang tak dikenal.
LOSQUEN
Mengesankan: diantara sejumlah suara hibrid ini, Losquen dianggap budaya terkini di masa lalu atau style baru bagi pendengar setia yang sedang dilanda asmara, tahun 1930-an, petikan Los dalam Portugis berarti “menghilangkan” lalu Quen (lima), atau memainkan senar satu untuk melodi sembari menggerakkan Ibu jari untuk senar Bass, menjadi petikan penting dalam garapan campuran Instrumen. Tidak heran dalam tahun-tahun itu banyak pemain muda non profesional hanya iseng atau sekadar mengikuti kelompok-kelompok serius, mengisi hiburan hingga menyebabkan munculnya para pemain lokal secara tunggal, menemukan pertunjukan yang segera disambut sebagai kesenian tradisional “Sayang-sayang”.
PASSAYANG-SAYANG
“Sayang-sayang” pada lirik selalu menyebut sayange (sebutan cinta pada sesama baik secara langsung maupun tidak langsung), atau diakhir lirik kadangkala ditemukan kata yang lain asalkan tidak mengandung unsur sara. Pormasi pemain di panggung yang karakteristiknya adalah pemain guitar melodi (pakko’bi’). tetapi belakangan juga sudah mengguanakan guitar ritem dan bass. tidak lupa vokal selalu berada di tengah, sebab dianggap sebagai sentral pertunjukan. Pasayang-pasayang hasil perkembangan Losquen, adalah pertunjukan kelompok dalam bentuk permainan musik ansambel, yang sebetulnya penyajiannya sejenis musik adopsi dari aliran Keroncong.
Akhirnya melalui Taman Budaya Provinsi Sulawesi Barat, Dawai Etnik mengajak anda menyaksikan materi-materi (Pertunjukan Dawai eksotik, Sarasehan Musik tradisional Sulawesi Barat dan Silaturrahmi kebudayaan). Untuk itu, mari belajar melakukan praktek dalam meresapi atau menembus Kata Dalam Petikan.