Pompang, Musik Tradisional Berbahan Bambu dari Mamasa

Oleh: Yesti Astari, Mahasiswa Unasman

Mamasa adalah salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Sulawesi Barat. Sekitar 340 km dari kota Makassar, dapat ditempuh sekitar 6 jam dengan menggunakan roda empat. Dari kota Pare-pare, pusat kawasan pengembangan ekonomi terpadu di Provinsi Sulawesi Selatan sekitar 190 km.

Seperti Daerah lain pada umumnya Mamasa terkenal karena kekayaan adat dan budaya. Selain itu, Mamasa juga terkenal dengan salah satu musik tradisionalnya disebut Pompang. Pompang adalah alat musik tradisional yang terbuat dari bambu, dipotong dengan ukuran besar dan kecil, dilubangi kemudian dirangkai dengan menggunakan alat perekat berupa bekas sarang lebah.

Dari perbedaan ukuran ini akan menghasilkan bunyi nada yang berbeda ketika ditiup. Ukuran yang besar menghasilkan nada rendah, sedangkan ukuran kecil untuk nada yang tinggi. Bahan-bahan bambu yang dipilih pun memiliki kriteria seperti tipis dengan ruas yang panjang, berusia tua, serta permukaannya mulus dan lurus, agar bunyi yang dihasilkan nanti terdengar bagus dan tidak cempreng.

Pompang sendiri dimainkan dengan cara ditiup dan disajikan dalam bentuk ansambel atau semacam musik orchestra yang melibatkan banyak personil di dalamnya. Ansambel musik Pompang dan suling pada masyarakat Mamasa keberadaanya sudah sangat erat melekat dengan kehidupan masyarakatnya. Sampai saat ini keberadaan musik Suling Pompang sangat dijaga oleh masyarakat karena merupakan salah satu identitas budaya masyarakat Mamasa. Hal tersebut dapat diamati pada acara budaya yang menampilkan kesenian tradisi.

Musik pompang saat pentas pada Polewali Mandar International Folk and Art Festival Tahun 2017. Foto: Panitia PIFAF 2017

Kehadiran musik ini sangat berbeda dengan musik tradisional yang umumnya pada masyarakat pesisir. Kesenian ini, selain di daerah Mamasa sendiri, hanya dapat ditemukan di Wilayah Masyarakat Tana Toraja Sulawesi Sealatan, dan Kalumpang Sulawesi Barat.

Keberadaan alat musik ini tumbuh dan berkembang hanya pada wilayah masyarakat pegunungan, sementara di wilayah pesisir masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui keberadaan musik Suling Pompang tersebut. Ketidak tahuan ini dilandasi oleh kurangnya minat pada alat instrumen musik jenis tiup, sehingga musik-musik di masyarakat pesisir lebih banyak didominasi oleh instrumen musik yang ditabuh dan dipetik. Rabu 11 November 2020 bertemu dan menggali salah seorang guru seni budaya.

Oktani Manggesa, usianya 28 tahun, mempunyai istri dan 3 orang anak, beliau sering berkolaborasi dengan pamannya yang kebetulan ahli dalam pembuatan pompang dan suling. Mereka sering melatih anak-anak SD di kampong. Jika ada perlombaan-perlombaan musik bamboo misalnya porseni tingkat kecamatan atau tingkat kabupaten.

“Sejarah Musik Pompang di Mamasa sendiri berawal dari kebiasaan orang Mamasa menggunakan suling pada saat mengembala kerbau dan akhirnya seiring dengan berjalannya waktu musik Pompang pun banyak digemari dan semakin terkenal di masyarakat luas” Ungkap Oktani.

Lanjut dijelaskan Oktani untuk pemain musik bambu ini biasanya terdiri dari 25 sampai 35 orang dan itu sudah termasuk pemain gendang sebagai penentu irama, pemain suling dan pemain pompang itu sendiri.

Musik Pompang biasanya digunakan pada saat acara Rambu Tuka’ atau pesta pernikahan, untuk menyambut tamu-tamu khusus, acara-acara adat dan acara keagamaan serta jika ada perlombaan-perlombaan musik bambu.

Namun pada umumnya, sekarang telah banyak ditampilkan di berbagai macam festival, baik di daerah Mamasa sendiri maupun dalam acara-acara di luar Kabupaten Mamasa. Seiring dengan berkembang zaman minat masyarakat khususnya kaum muda mudi untuk memlelajari musik tradisional seperti pompang ini sangat kurang.

Bisa kita liat pada saat pementasan-pementasan atau acara-acara yang menampilkan musik pompang kebanyakan personil atau pemainnya dari kalangan orang tua dan jarang sekali kaum muda yang mengambil bagian di dalamnya.

Hal ini menurut Oktani disebabkan oleh tergerusnya adat dan budaya oleh situasi global atau kemajuan teknologi saat ini sehingga anak-anak lebih cenderung mementingkan gadget dan semua alat elektronik yang ada.

Sehingga menurutnya salah satu solusi yang harus dilakukan untuk menyadarkan kembali generasi saat ini akan pentingnya mengetahui dan mempelajari adat dan budaya adalah mendidik anak mulai dari dini untuk mencintai budaya ataupun kebiasaan-kebiasaan yang ada di daerah serta memasukkan di dalam kurikulum di Sekolah Dasar tentang Musik Bambu.

Foto Utama: Panitia PIFAF 2017