Oleh : Muqaddim
Gelaran pemilihan presiden Tahun 2019 telah usai. Namun sejumlah fenomena masih sangat mernarik untuk ditelaah. Di antaranya adalah kontestasi politik antara kubuh 01 (Jokowi – Ma’ruf) dan kubuh 02 (Prabowo – Sandi) yang tidak bisa lepas dari pengaruh politik umat islam. Sebagaimana kita ketahui, posisi umat islam di Indonesia akan selalu besar karena rakyat Indonesia terdiri atas mayoriyitas pemeluk agama islam. Menurut Indonesia Investment bahwa “Indonesia adalah negara yang memiliki populasi Muslim terbesar di seluruh dunia. Pada saat ini diperkirakan bahwa jumlah umat Muslim mencapai 207 juta orang, sebagian besar menganut Islam aliran Suni. Jumlah yang besar ini mengimplikasikan bahwa sekitar 13% dari umat Muslim di seluruh dunia tinggal di Indonesia dan juga mengimplikasikan bahwa mayoritas populasi penduduk di Indonesia memeluk agama Islam”.
Selain itu, menurut sejumlah hadist bahwa umat islam seharusnya tidak alergi dengan politik. Bahkan Rasulullah Muhammad SAW menjadikan masjid sebagai pusat sentra kegiatan umat islam termasuk di dalamnya politik, hukum dan lain-lain. Hadist-hadist itulah yang memperkuat orientasi umat islam di Indonesia untuk selalu mengambil peran sentral dalam setiap kontestasi politik tanah air, baik itu kontestasi politik lokal, nasional bahkan internasional. Jika melihat sejarah, umat islam di Indonesia selalu terbiasa menyalurkan political will nya pada organisasi. Sarekat Islam misalnya, salah satu wadah pertama umat islam di Indonesia dalam dunia politik. Sarekat Islam memulai pergerakan politiknya dengan meluaskan ruang lingkup organisasinya melewati tujuan awal yaitu di dunia perdagangan yang dianggap terlalu sempit, Sarekat Islam kemudian menjadikan visi organisasinya dengan tujuan yang lebih luas yang mencangkup keseluruhan umat Islam Bumiputera dengan tujuan menentang praktik kolonialisme Belanda dengan berlandaskan semangat Pan-Islamisme.
Muhamamdiyah juga dalam perjalanan sejarahnya tidak lepas dari peranannya dalam dunia politik. Meskipun Muhammadiyah tidak mau masuk dalam politik praktis, namun pengaruh Muhammadiyah dalam politik tanah air sangatlah besar sebagaimana menurut Alfian bahwa pada Muhammadiyah melekat tiga ciri pokok. Pertama, Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan keagamaan. Kedua, Muhammadiyah sebagai agen perubahan sosial. Ketiga, Muhammadiyah sebagai kekuatan politik. Meskipun bukan partai politik, namun Muhammadiyah memiliki modal politik yang ikut menentukan arah kebijakan politik. Misalnya dalam konteks kebijakan kotemporer, melalui jihad konstitusi, Muhammadiyah berhasil melakukan uji materi terhadap Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi.
Organisasi islam selanjutnya adalah Nahdatul Ulama (NU). NU sebagimana sejarahnya dalam kehidupan sosial budaya dan politik tanah air tidak bisa dilepaskan dari perannya dalam politik. Dalam kurun waktu yang cukup panjang antar generasi yang memiliki karakter dan tipologi yang berbeda, kader-kader NU selalu eksis melakukan gerakan sosial di segala bidang di tengah-tengah perubahan politik nasional. Organisasi-organisasi islam lainnya seperti FPI, Hidayatullah, Persis, FDII dan lain-lain tidak bisa dibahas satu persatu disini juga mempunyai peranan signifikan dalam politik nasional.
Political will umat islam pada perhelatan pilpres tahun 2019 yang baru saja berlalu itu pada umumnya disalurkan melalui organisasi-organisasi islam. Sejarah peran aktif organisasi massa islam (ormas islam) kembali tercatat dalam lembaran sejarah politik nasional. Bahkan kedua calon yang berkontestasi secara terang-terangan memperlihatkan ke publik bahwa umat islam adalah pelaku maupun objek politik yang sangat besar pengaruhnya. Besarnya pengaruh politik umat islam bisa dibedakan menjadi dua kekuatan yaitu kekuatan organisasi islam menjadi “pengawal” pasangan calon dalam mendapatkan dukungan. dan besarnya populasi islam di Indonesia yang menjadi pemilih.
Organisasi islam yang penulis sebut sebagai pengawal pasangan calon di atas memang bisa saja menjadi perdebatan banyak pihak. Namun, bukan tanpa alasan, perhelatan pilpres tahun 2019 yang baru saja berlalu itu sangat kental oleh peran organisasi massa islam (ormas islam) di dalamnya. Peran organisasi-organisasi tersebut bukan saja menjadi pengawal pasangan calon, tetapi juga menjadi alat dalam mendapatkan dukungan dari rakyat yang mengandalkan anggota maupun simpatisan organisasi masing-masing. Sebut saja Nahdatul Ulama (NU) yang beberapa cabangnya dengan terang-terangan mendeklarasikan dukungannya kepada pasangan calon 01 (Jokowi – Ma’ruf). Begitupun dengan PA 212 yang juga secara terang-terangan mendeklarasikan dukungannya pada pasangan calon nomor urut 2 (Prabowo – Sandi) melalui ijtima ulama yang dilakukan beberapa kali. Jika dikaji lebih dalam lagi, maka organisasi massa islam (ormas islam) yang terkait erat dengan PA 212 adalah Front Pembela Islam (FPI). Meskipun di lapangan antara FPI, GNFP dan PA 212 berjalan sebagai organisasi yang berbeda. Atas inisiatif kelompok itu jugalah, pasangan calon 02 (Prabowo – Sandi) mendapatkan legitimasi yang kuat sebagai pilihan para ulama. Legitimasi itu didapatkan dari ijtima ulama.
Dalam demokrasi, organisasi-organisasi massa islam yang mendeklarasikan dukungannya tersebut sah-sah saja. Bahkan dalam mekanisme sistem politik, peran organisasi massa sangat dibutuhkan olah negara sebagai pengontrol maupun pendukung pembangunan. Dalam sistem politik peran organisasi massa tersebut dibagi atas dua yaitu berperan sebagai organisasi atau kelompok penekan (pressur group) dan kelompok kepentingan (interest group). Pada pembagian jenis kelompok ormas tersebut, antara NU dan FPI sejatinya dapat dikategorikan sebagai kelompok kepentingan (interest group). Hal ini berkaitan dengan tujuan kedua organisasi massa islam (ormas islam) itu yang memberikan dukungannya yang secara politis pasti tidak mendukung begitu saja. Melainkan terdapat kepentingan di dalamnya. Kepentingan kedua organisasi itu bisa saja berdasarkan kepentingan ideologi organisasi maupun kepentingan kekuasaan semata.
Yang menarik adalah, antara NU dan FPI merupakan organisasi massa yang sama yaitu organisasi massa yang berasaskan islam. Namun, keberpihakan mereka justru bertolak belakang tetapi dengan arguemnatsi yang sama yaitu atas nama kesejahteraan bangsa dan umat. Kedua organisasi islam besar itu, terlihat sangat berlawanan. Hal ini ditandai dengan kerasnya persaingan antara 01 dan 02 di lapangan.
Perhelatan pilpres 2019 yang mempertemukan dua kekuatan islam besar itu menunjukan dua pernyataan yaitu pernyataan yang berkonotasi positif bagi islam dan kesimpulan yang berkonotasi negatif bagi islam. Positifnya bagi islam adalah, pengaruh politik islam masih mendominasi dan masih sangat kuat dalam mengawal negara ini. Negatifnya adalah, kekuatan politik islam secara kesatuan islam tidak terlihat. Yang terlihat justru kekuatan politik Nahdatul Ulama (NU) dan kekuatan politik Front Pembela Islam (FPI). Bukan berarti antara NU dan FPI tidak menyumbang kekuatan politik pada islam tetapi lebih pada benturan kekuatan islam yang memberikan istrumen masih rapuhnya kesatuan islam jika dihadapkan dengan kekuasaan dan kepentingan pribadi kelompoknya.